OLEH: Widi Hartanto
Ita masih asyik menonton kartun minggu kesukaannya. Ia pura-pura tidak mendengar. Berulang kali panggilan ibunya tidak dipedulikannya. Ia tahu, pasti ibu mau menyuruhnya lagi. Ita malas kalau disuruh bolak-balik ke warung Pak Todi.
“Ita, tolong ibu belikan gandum tiga kilogram ya?” ibunya akhirnya datang ke ruang tamu. Tangan dan wajah ibu belepotan adonan roti. Ita menoleh, tapi hanya diam.
“Ita…Ita, Ibu dari tadi memanggilmu. Kok kamu tidak datang? Tolong ya, soalnya ibu masih repot,” ucap Ibu lagi.
Nah, benar kan. Huhh. Batin ita kesal. “Bu, Ita capek. Bentar yaa, ini kartunnya lagi seru. Masa dari tadi disuruh terus!” tolak Ita.
“Ini Ibu lagi repot sayang” lanjut ibunya lagi. Ita tidak menggubris, wajahnya cemberut. Ibu menarik nafas panjang, menggelengkan kepalanya. Jika sudah begini ibu tak mau memaksa Ita. Ibu lalu keluar untuk memanggil Ali keponakan Ita. Seperti biasa, Ibu Ita selalu minta bantuan Ali untuk ke warung jika kurang bahan membuat roti. Rumah mereka bersebelahan jadi tidak kesulitan untuk mencari Ali. Selama ini, Ibu Ita senang mengandalkan Ali untuk belanja ke warung Pak Todi.
“Suruh saja si Ali. Ita malas Bu!” kata Ita kesal.
Sebenarnya yang membuat Ita jengkel pada Ali, karena Ibu dan Ayahnya suka memuji sikap Ali. Meskipun Ali sekelas dengan Ita tapi mereka jarang berangkat bersama.
“Ali, kamu jangan sok baik pada ibuku deh!” kata Ita di ruang kelas yang mulai sepi saat pulang sekolah. Ali yang sedang memberesi buku kaget. Ia tahu jika Ita kemarin kesal padanya.
“A…apanya? Aku tidak sok baik kok. Kenapa? Aku hanya membantu semampuku,” ujar Ali.
“Hee jangan bantah kamu. Kamu mau dianggap baik kan oleh orang tuaku?” cibir Ita.
“Tidak. Ibu dan Bapakku sangat sayang padaku. Kan itu sudah kebiasanku,” sahut Ali bingung. “Tentunya kamu ingin mendapat kue gratis dari Ibuku kan?”Ita semakin ketus. Namun ia mengakui kalau kata-kata Ali benar. Semua keinginan Ali selalu dituruti Ibunya. Ali pun tak menjawab.
“Kamu pasti juga mengharap imbalan untuk tambahan uang jajan kan?” tambah Ita lagi. Muka Ali merah padam. Tapi ia cepat bergegas pulang. Ia pergi tanpa bicara sembari menahan marahnya.
“Ali…. Awas yaa!” Ita berteriak di dalam kelas yang sepi. Mukanya masam, Ia menangis.
Segera ia usap air matanya. Ia bersumpah akan membalas Ali. kemudian bergegas pulang. Sesampainya di rumah ia langsung menuju ke kamar. Ibunya yang berada di dapur tidak tahu jika Ita sudah pulang. Tanpa ganti baju dan makan, Ita langsung tidur.
Sore harinya ayahnya pulang dari kantor. Ita sedang bermain-main di teras.
“Tumben, anak ayah main di rumah?” sapa Ayahnya setelah turun dari motor.
“Tidak… Yah. Malas?!” kata Ita manja.
“Kenapa? Tapi kok cemberut begitu, habis dimarahi bu guru yaa?” lanjut ayah ita.
“Bukan. Gara-gara Ali tuu,” Ita langsung menghampiri Ayahnya.
“Aneh, padahal rumah sebelahan, masih saudara, apalagi juga sekelas. Seharusnya kalian kan bisa bersahabat baik. Bukannya bertengkar begitu” Ayahnya berbicara ramah. Ia tahu jika keduanya selalu bersaing di kelasnya.
“Dia itu suka sok baik sih. Ayah dan Ibu juga sayang padanya. Teman-teman juga lebih suka pada Ali” sahut Ita.
“Semua sayang Ita,” kata ayah, tiba-tiba terdengar suara Ibunya dari dalam rumah.
“Itaaa……tolong belikan beras dan gula nak…” Ibunya memanggil dari dalam rumah. Ita kesal.
“Ini lagi sama Ayah, Bu?! Suruh saja Ali lagi!” ucap Ita membeliak. Ayahnya segera menyahut, “Anak ayah tidak boleh begitu dong, kan cuma sebentar belinya”.
Lalu Ibu datang, ia tahu seperti biasa ia memanggil Ali. Ali pun datang dengan wajah gembira. Kemudian Ibu memberi uang dan berkata padanya,“Tolong belikan beras empat kilo dan gula pasir sekilo. Oiya, kalau begitu berdua sama Ita. Biar bawanya lebih ringan”.
Ita yang mendengar pura-pura acuh. Ia masih marah pada Ali. Ayahnya mengerti, lalu dengan ramah berkata pada Ita, “Yaa, masa tidak kasihan sama Ali. Itu lumayan berat lhoo. Ita bareng berdua sana, sekalian Ayah titip belikan kopi”.
“Ayahhhh…… huhhff” sungut Ita. Ali kemudian berangkat dan Ita dengan langkah malas-malasan menguntit di belakang.
Sepanjang jalan ke warung Pak Todi, Ita hanya diam. Tetapi Ali selalu saja menyapa tetangga yang dijumpainya. Ia sudah terbiasa menyenangkan orang-orang kompleks perumahan. Para tetangga juga hafal sikap ringan tangan Ali. Ita mendengus kesal, menjadi tambah cemberut saja. Ali tahu jika Ita dibelakangnya menggerutu.
“Maaf Ta, atas sikapku kemarin” tiba-tiba Ali membuka suara dengan ringan.
“Maksudnya apa?” Ita ketus menyahut.
“Aku hanya mau menolong saja kok” jawab Ali spontan.
“Alaahh, gak usah pura-pura. Aku tahu jika kamu senang aku dimarahi Ibuku” hampir saja Ita jatuh terpeleset. Namun buru-buru ia bisa jaga keseimbangan tubuhnya.
“Hahaha, makanya hati-hati kalau jalan” Ali tertawa, Ita membeliak hampir saja jatuh.
“Huhh, malah ketawa. Bukannya menolong! Kalau tadi tidak dipaksa Ayahku, aku tidak mau ke warung sama kamu!?” bentak Ita.
“Salahmu sendiri. Memangnya kenapa? Kamu ini kalau disuruh Ibu, bantu sedikit saja tidak mau. Apa belajar terus?” kata Ali.
“Terserah aku. Memangnya kamu, kalau di kelas suka tidur. Kadang sampai ngiler jika tak kepergok Bu guru. Dasar tukang tidur!?” balas Ita mengejek. Ali tertawa kecut. Ita merasa menang dengan ejekan satu itu. Memang terkadang Ali sering tidur sendiri di kelas sewaktu pelajaran. Ketika mulai Ali menguap, badan gendutnya nampak seperti bola. Seisi kelas mulai bisik-bisik, siap-siap terkekeh. Apalagi jika ia tergagap kaget waktu terbangun. Riuh tawa memenuhi ruang kelas tiga itu sampai terdengar di kelas sebelah. Ita cekikikan sendiri.
Sesampai di warung, tampak Pak Todi sibuk melayani pembeli yang kebanyakan dari warga perumahan. Warung itu kecil tapi menyediakan dagangan keperluan sehari-hari. Sehingga warga tak perlu repot-repot belanja ke pasar atau supermarket.
Beras, gula dan kopi mereka terima beserta uang kembalian. Ali menerima kantung plastik rangkap dua berisi beras empat kilogram. Ita membawa kantung plastik berisi gula dan kopi. Mereka berdua berjalan pulang.
Ita melihat Ali kemudian bertanya,”Ali, kok kamu tidak keberatan membawanya? Kan itu cukup berat?”
“Tentu saja tidak. Enteng kalo cuma segini. Sebanyak apapun tetap saja ringan kok,” sahut Ali tersenyum bangga.
“Memangnya menurutmu yang berat itu apa coba?” tanya Ita penasaran.
“Yang jelas lebih berat kamu…..hahaha. Yang berat itu, yaa, saat Ibuku mengandung aku dong! Kata Kakekku, Sembilan bulan lamanya aku tidur dalam perutnya. Terus Ibu juga menggendongku dan tak pernah meletakkannya walau sebentar. Ibu tak pernah mengeluh. Malah selalu terseyum menanti aku lahir,” lanjut Ali polos “masa, sekarang aku mengeluh, kan hanya belanjaan segini? Malu lah sama Ibu?!”
Ita heran mendengar perkataan Ali. Dahinya mengernyit, termenung sesaat. Kini ia tahu mengapa Ali suka membantu Ibunya dan ibu-ibu tetangga lainnya. Ali tidak mengharap imbalan seperti perkiraannya. Ita jadi malu, rasa jengkelnya hilang.
“Aku minta maaf atas ucapanku kemarin,” ucap Ita lirih. Ali menjadi heran.
“Iya, aku sudah memaafkanmu dari kemarin,” sela Ali kemudian “soalnya dulu aku juga malas membantu ibu seperti kamu” ledek Ali sambil tertawa.
“Owwh, masa?” Ita sempat tak percaya.
“Nanti aku ceritakan bila sudah sampai di rumah. Ayah dan Ibumu pasti juga sudah menunggu,” kata Ali kemudian. Ita tersenyum, kemudian ia berniat mau membawa sendiri semua belanjaanya.
“Eh, benar? Tapi ini berat lhoo?” kata Ali
“Tak lebih berat saat ibu sembilan bulan mengandung kita kan?” jawab Ita sembari cekikikan.
“Nih, coba saja” kantung plastik itu diberikan pada Ita. Ia tampak kesulitan membawa semuanya. Ali tertawa,”nah, benar kan? Biar kita bagi dua kan jadi lebih enteng.” ucap Ali. Ita hanya tersenyum, lalu memberikannya ada Ali. Keduanya berjalan bersama sambil tertawa.
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar