Pages

Kamis, 17 Juni 2010

DIVA NGGA MAU PUNYA ADIK…!

OLEH: Aulia Destinia Furri

“JDERR!!”, “Pokoknya Diva ngga mau punya adik”. Lagi-lagi kata-kata itu yang kudengar dari mulut adik kecilku Diva. Belum sempat aku mengucapkan salam dan masuk kedalam rumah, aku sudah disambut dengan teriakan dan tangisan diva yang membanting pintu kamarnya.
Adik kecilku itu memang baru berusia lima tahun, dan sulit baginya untuk membagi kasih sayang dari bunda dan ayah untuk adik baru kami nanti. Sekilas teringat lagi olehku saat diva lahir dan aku resmi menjadi kakak. Saat itu usiaku baru genap menginjak tujuh tahun, sama seperti diva, aku pun sempat merajuk dan mengunci diri di dalam kamar. Aku tidak mau membagi kasih sayang bunda dan ayah dengan adik baru nanti, ditambah lagi ejekan dari teman-teman yang mengatakan bahwa aku tidak akan disayang lagi jika adikku lahir kelak, dan kini aku amat mengerti apa yang ditakutkan oleh diva.
Perlahan kuketuk pintu kamarnya.
“siapa?”, perlahan terdengar suaranya, serak, pasti dia sedang menangis seperti biasanya batinku.
“ini kakak, boleh kakak masuk?”
“boleh”
Diva langsung memeluk tubuhku saat aku masuk. Dan seperti biasa kata –kata yang keluar adalah “Diva ngga mau punya adik, kak”. Dengan sabar aku menggendong tubuh mengilnya dan meletakannya kembali diranjang. Matanya terlihat bengkak, pemandangan yang selalu kulihat setiap hari selama sebulan terakhir ini. Awalnya bunda dan ayah belum memberitahukan hal ini pada diva, namun sejalan dengan waktu akhirnya diva pun tahu. Masih teringat dipikiranku kejadian sebulan yang lalu saat Diva bertanya dengan polosnya pada bunda
“kok perut bunda gede sih?, belum poop ya?”
“ahh..memang bunda kelihatan gendut yah?” jawab bunda.
Sejak itulah akhirnya Diva pun tau. Awalnya Diva tidak mempermasalahkan kedatangan adik baru ini, namun suatu hari saat pulang sekolah Diva menangis, teman-temannya mengejeknya, mengatakan hal yang sama persis dengan yang dikatakan teman-temanku dulu, bahwa Diva tidak akan disayang lagi jika adik baru itu lahir nanti. Bayangan-bayangan itu membuatku sedikit bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Diva, walaupun aku sepenuhnya juga belum mengerti tentang urusan orang dewasa.
“Diva ngga boleh sedih terus”, bujukku. “tadi di sekolah belajar apa?”
Seperti biasa Diva selalu antusias bila ditanya tentang kesehariannya disekolah. Dengan semangat ia mulai bercerita tentang temannya yang ngompol dikelas, dirinya yang slalu dapat bintang dalam pelajaran mewarnai dan menyanyi, tentang ibu gurunya yang cantik, bahkan satpam sekolahnya pun tidak luput menjadi objek celotehan mungilnya. Dan biasanya hal ini selalu berhasil untuk mengembalikan keceriaannya.
Sejalan dengan waktu, tangisan dan teriakan Diva pun semakin sering terdengar. Tak jarang malah dia tidak mau berangkat ke sekolah, takut diejek teman-teman katanya. Bila sudah begini, biasanya bunda hanya bisa menenangkan secukupnya, karena bunda sudah tidak bisa menggendong diva lagi.
“Bunda sayang diva, bentar lagi kan Diva jadi kakak seperti kak keyra, makanya Diva jangan nangis terus dong”.
Aku hanya bisa tertawa jika Diva sudah melancarkan aksi ngambeknya, sambil sesekali menggodanya dengan mengatakan malu jika adik lahir nanti dan tau kalau kakaknya cengeng.
Suatu hari ayah datang kesekolah. Aku heran karena waktu itu belum jam pulang sekolah dan tidak biasanya ayah menjemput. “Bunda dirumah sakit”, katanya. Dan aku harus pulang untuk menemani Diva dirumah. Kali ini ayah terlihat panik, tidak seperti saat bunda melahirkan Diva dulu. Aku pun ikut takut dan menangis dimobil sepanjang perjalanan pulang kerumah. Ayah mengatakan bahwa bunda harus dioperasi dan ayah harus mencari pendonor darah untuk bunda. Tidak semuanya dari perkataan ayah dapat kumengerti. Namun kata operasi sering kuterima dalam pelajaran Biologi disekolahku. Membelah tubuh dan darah akan banyak keluar. Terbayang olehku tubuh bunda yang terbaring di rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis.
Sesampainya dirumah aku langsung menemui Diva dikamarnya.
“Bunda dimana kak? bunda kenapa?. Diva janji ngga nakal lagi kalau bunda pulang”
Saat itu aku hanya bisa memeluknya sambil ikut menangis. Sulit untuk menceritakan semuanya pada Diva. Aku tidak mengerti dan aku yakin Diva pun akan lebih tidak mengerti dari aku. Satu kalimat yang keluar dari bibirku
“bunda dioperasi dik, kita berdoa sama-sama ya buat bunda”
“operasi itu apa kak?, diva takut kalau bunda pergi seperti ibunya mutia, nanti ngga ada yang gendong Diva lagi.
“Bunda ngga akan pergi kok, makanya sekarang kita berdoa buat bunda ya..”
Samar kudengar bunyi klakson mobil ayah didepan rumah, kami pun menghambur keluar. Ayah keluar dari mobil sambil menggendong Diva dan berkata “adiknya perempuan”. Sepintas kulihat rona merah diwajah ayah, rona yang aku yakini sebagai rona bahagia.
“siapa yang mau ikut lihat adik bayi?” ayah berkata
“akuuuu……” Diva menyahut dengan ceria dan bahagia, tidak tampak lagi raut penolakan dalam wajahnya. Kami langsung bergegas mengganti seragam sekolah dan naik ke mobil. Sepanjang jalan aku hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan polos dari bibir Diva tentang adik barunya yang lucu, dan ayah hanya bisa menjawab seadanya sambil sesekali tersenyum.
Sesampainya dirumah sakit kami belum boleh melihat bunda. Kondisi bunda masi lemah kata Pak Dokter dan kami belum boleh mengganggunya. Tapi kami boleh melihat adik baru, walaupun hanya bisa mengaguminya dari luar, karena adik diletakan dalam ruangan kaca yang entah apa namanya.
“Diva senang?” aku mulai berkata.
“seneng banget..”
“ngga takut kalau nanti bunda ngga sayang Diva lagi?” aku mencoba mengusiknya dengan pertanyaan itu. Namun dengan yakin dan sambil memamerkan kedua lesung pipinya dia berkata
“kan bunda sayang semua, sayang dia, sayang kak keyra, dan sayang dik alya”
“dik alya?”
“iyaa, Diva suka nama, buat adik baru, namanya baguskan kak?”
“bagus.”
“alya”,seru kami berdua serempak lalu tertawa.

0 komentar:

Posting Komentar