Pages

Selasa, 09 Oktober 2012

Narasi Informatif


Sosok Wanita Tangguh
oleh
Firda Mustikawati


Terdapat sebuah Panti Asuhan “Atap Langit” yang didirikan oleh seorang wanita tangguh di daerah Mergangsan, Yogyakarta. Pendiri Panti Asuhan “Atap Langit” bernama Theodora. Theodora adalah nama kecil wanita itu. Lahir dari pemeluk Agama Katolik. Yogyakarta, sebuah kota di mana Theodora dilahirkan dan dibesarkam. Saat SMP, hidupnya berubah. Theodora tertarik untuk mempelajari Islam. Kemudian, mempelajari Islam dan menjadi mualaf. Wanita bernama Theodora mengganti namanya dengan Sri Sumarwati. Orang tua Sri marah besar ketika tahu Sri pindah ke Agama Islam. Ditambah lagi, saat lulus SMA, Sri menikah secara Islam dengan pria asal Maluku. Pastinya, pernikahan tersebut tidak mendapat restu dari orang tua dan keluarga Sri Sumarwati. Meski tak mendapat restu orang tua, setelah usai pernikahan Sri menumpang hidup di tempat orang tuanya. Masalah finansial yang menjadi sebab Sri masih tinggal di tempat orang tuanya.
Dua tahun usai pernikahannya, Sri dan suami Sri dianugerahi oleh Tuhan seorang anak perempuan. Kelahiran anak pertamanya cukup membuat Sri dan suaminya bahagia dan melupakan masalah-masalah hidup. Namun, tak selamanya kebahagiaan menghiasi hidup manusia. Satu tahun kemudian, kesedihan menimpa keluarga Sri. Suatu ketika, Sri bersama anaknya menjemput suaminya yang bekerja sebagai anggota keamanan di Keraton Yogyakarta. Lalu, Sri, suami, dan anaknya mampir ke pasar dengan menaiki becak. Namun, tiba-tiba becak yang ditumpangi Sri, suami, dan anaknya terguling. Dengan menggendong anaknya, suami Sri berhasil lompat dari becak. Bagaimana nasib Sri?. Sri terlempar jauh dari becak dan kepalanya terbentur trotoar. Kepala Sri bengkak. Sri dilarikan ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Awalnya Sri menolak untuk dirawat inap. Namun, keadaan Sri semakin rapuh. Siapa yang menyangka, kepala Sri yang terlihat hanya bengkak biasa ternyata mengalami gegar otak. Akhirnya Sri dirawat selama dua bulan.
Kini keadaan Sri berangsur membaik. Dua tahun setelah kelahiran anak pertamanya, Sri dianugerahi seorang anak laki-laki. Kebahagiaan pun kembali menghiasi keluarga kecil tersebut. Kebahagiaan yang dirasakan Sri bertambah saat Sri diterima bekerja sebagai staf penyuluh BKKBN. Namun, cobaan kembali menghampir Sri. Tak ada yang tahu nasib seseorang kecuali Allah. Tiba-tiba saja sakit kepala Sri kambuh. Semakin parah. Sri mengalami radang otak dan komplikasi lever. Karena penyakit Sri yang semakin parah, Sri harus mendapat perawatan di Rumah sakit Sarjito Yogyakarta. Dua bulan menjalani perawatan, keadaan Sri justru semakin kritis. Sampai-sampai Sri dipindahkan ke ruang ICU karena keadaan Sri antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaannya yang kritis, Sri bernadzar Ya Allah, Jika hidup lebih baik bagiku, maka hidupkan aku dan jika mati lebih baik bagiku, aku mohon mati. Jika Kau izinkan aku untuk hidup lagi, sisa hidupku akan aku gunakan untuk kebajikan dan kemanusiaan.
Sudah tujuh bulan Sri tak sadarkan diri. Dia terbaring lemah di ruang ICU. Dia koma. Melihat keadaan Sri yang lemah tak berdaya, Sri divonis meninggal dunia. Selang, alat bantu nafas pun sudah dicabut. Seluruh keluarga Sri sudah tidak banyak berharap, mereka sudah siap menjemput Sri untuk dimakamkan. Namun, keajaiban terjadi. Tuhan memberikan lagi kesempatan hidup untuk Sri. Setelah tujuh bulan koma, Sri bangun dari tidur panjangnya. Sungguh tak ada yang menyangka. Kejaiban Tuhan memang luar biasa.
Setelah koma selama tujuh bulan dan akhirnya menyadarkan diri, keadaan Sri masih menyedihkan. Sri masih tetap mendapatkan perawatan karena mata, telinga, hidung, lidah, mulut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan keadaan Sri tersebut, Sri membayar nadzarnya untuk melakukan kebajikan dan kemanusiaan. Dari sinilah Sri mulai mendirikan Panti Asuhan “Atap Langit”. Saat itu, Sri mengasuh empat anak terlantar yang dipungut di jalan. Sri juga memasak makanan di Alun-Alun Utara untuk memberi makan anak-anak jalanan. Lagi-lagi keluarga Sri tidak setuju jika Sri mengasuh anak-anak jalanan dengan alasan keadaan Sri saja masih butuh perawatan. Sri menaggung semua biaya anak jalanan sendiri. Dia berjualan sembako, makanan tradisional, pakaian dsb keliling ke Wonosari, Wates, dan Salatiga. Cobaan datang lagi saat gempa Yogyakarta berkekuatan 5,9 SK tahun 2006  menghancurkan rumah Sri dan rumah kontrakan yang digunakan untuk menampung anak-anak Atap Langit. Seiring berjalanannya waktu, Panti Asuhan “Atap Langit” yang didirikan oleh Sri Sumarwati banyak mendapatkan bantuan dari para donatur. Anak-anak yang diasuh Sri pun semakin banyak. Sudah banyak anak asuhnya yang mencapai kesuksesan.






Catatan: Terinspirasi dari kisah nyata seorang wanita tangguh pendiri Panti Asuhan “Atap Langit” Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar