Sosok Wanita Tangguh
oleh
Firda Mustikawati
Terdapat
sebuah Panti Asuhan “Atap Langit” yang didirikan oleh seorang wanita tangguh di
daerah Mergangsan, Yogyakarta. Pendiri Panti Asuhan “Atap Langit” bernama
Theodora. Theodora adalah nama kecil wanita itu. Lahir dari pemeluk Agama
Katolik. Yogyakarta, sebuah kota di mana Theodora dilahirkan dan dibesarkam. Saat
SMP, hidupnya berubah. Theodora tertarik untuk mempelajari Islam. Kemudian,
mempelajari Islam dan menjadi mualaf. Wanita bernama Theodora mengganti namanya
dengan Sri Sumarwati. Orang tua Sri marah besar ketika tahu Sri pindah ke Agama
Islam. Ditambah lagi, saat lulus SMA, Sri menikah secara Islam dengan pria asal
Maluku. Pastinya, pernikahan tersebut tidak mendapat restu dari orang tua dan
keluarga Sri Sumarwati. Meski tak mendapat restu orang tua, setelah usai
pernikahan Sri menumpang hidup di tempat orang tuanya. Masalah finansial yang
menjadi sebab Sri masih tinggal di tempat orang tuanya.
Dua tahun usai
pernikahannya, Sri dan suami Sri dianugerahi oleh Tuhan seorang anak perempuan.
Kelahiran anak pertamanya cukup membuat Sri dan suaminya bahagia dan melupakan
masalah-masalah hidup. Namun, tak selamanya kebahagiaan menghiasi hidup
manusia. Satu tahun kemudian, kesedihan menimpa keluarga Sri. Suatu ketika, Sri
bersama anaknya menjemput suaminya yang bekerja sebagai anggota keamanan di Keraton
Yogyakarta. Lalu, Sri, suami, dan anaknya mampir ke pasar dengan menaiki becak.
Namun, tiba-tiba becak yang ditumpangi Sri, suami, dan anaknya terguling.
Dengan menggendong anaknya, suami Sri berhasil lompat dari becak. Bagaimana
nasib Sri?. Sri terlempar jauh dari becak dan kepalanya terbentur trotoar.
Kepala Sri bengkak. Sri dilarikan ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Awalnya Sri
menolak untuk dirawat inap. Namun, keadaan Sri semakin rapuh. Siapa yang
menyangka, kepala Sri yang terlihat hanya bengkak biasa ternyata mengalami
gegar otak. Akhirnya Sri dirawat selama dua bulan.
Kini keadaan
Sri berangsur membaik. Dua tahun setelah kelahiran anak pertamanya, Sri
dianugerahi seorang anak laki-laki. Kebahagiaan pun kembali menghiasi keluarga
kecil tersebut. Kebahagiaan yang dirasakan Sri bertambah saat Sri diterima
bekerja sebagai staf penyuluh BKKBN. Namun, cobaan kembali menghampir Sri. Tak
ada yang tahu nasib seseorang kecuali Allah. Tiba-tiba saja sakit kepala Sri
kambuh. Semakin parah. Sri mengalami radang otak dan komplikasi lever. Karena
penyakit Sri yang semakin parah, Sri harus mendapat perawatan di Rumah sakit
Sarjito Yogyakarta. Dua bulan menjalani perawatan, keadaan Sri justru semakin
kritis. Sampai-sampai Sri dipindahkan ke ruang ICU karena keadaan Sri antara
sadar dan tidak sadar. Dalam keadaannya yang kritis, Sri bernadzar Ya Allah,
Jika hidup lebih baik bagiku, maka hidupkan aku dan jika mati lebih baik bagiku,
aku mohon mati. Jika Kau izinkan aku untuk hidup lagi, sisa hidupku akan aku
gunakan untuk kebajikan dan kemanusiaan.
Sudah tujuh
bulan Sri tak sadarkan diri. Dia terbaring lemah di ruang ICU. Dia koma.
Melihat keadaan Sri yang lemah tak berdaya, Sri divonis meninggal dunia.
Selang, alat bantu nafas pun sudah dicabut. Seluruh keluarga Sri sudah tidak
banyak berharap, mereka sudah siap menjemput Sri untuk dimakamkan. Namun,
keajaiban terjadi. Tuhan memberikan lagi kesempatan hidup untuk Sri. Setelah
tujuh bulan koma, Sri bangun dari tidur panjangnya. Sungguh tak ada yang
menyangka. Kejaiban Tuhan memang luar biasa.
Setelah koma
selama tujuh bulan dan akhirnya menyadarkan diri, keadaan Sri masih menyedihkan.
Sri masih tetap mendapatkan perawatan karena mata, telinga, hidung, lidah,
mulut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan keadaan Sri tersebut, Sri
membayar nadzarnya untuk melakukan kebajikan dan kemanusiaan. Dari sinilah Sri
mulai mendirikan Panti Asuhan “Atap Langit”. Saat itu, Sri mengasuh empat anak
terlantar yang dipungut di jalan. Sri juga memasak makanan di Alun-Alun Utara
untuk memberi makan anak-anak jalanan. Lagi-lagi keluarga Sri tidak setuju jika
Sri mengasuh anak-anak jalanan dengan alasan keadaan Sri saja masih butuh
perawatan. Sri menaggung semua biaya anak jalanan sendiri. Dia berjualan
sembako, makanan tradisional, pakaian dsb keliling ke Wonosari, Wates, dan
Salatiga. Cobaan datang lagi saat gempa Yogyakarta berkekuatan 5,9 SK tahun
2006 menghancurkan rumah Sri dan rumah
kontrakan yang digunakan untuk menampung anak-anak Atap Langit. Seiring
berjalanannya waktu, Panti Asuhan “Atap Langit” yang didirikan oleh Sri
Sumarwati banyak mendapatkan bantuan dari para donatur. Anak-anak yang diasuh
Sri pun semakin banyak. Sudah banyak anak asuhnya yang mencapai kesuksesan.
Catatan: Terinspirasi dari kisah
nyata seorang wanita tangguh pendiri Panti Asuhan “Atap Langit” Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar