Pages

Jumat, 18 Juni 2010

Gigi palsu buat nenek

Oleh : Rizki Indra

Dinda gadis kecil kelas 3 yang bersekolah di SD tunas bangsa adalah gadis kecil yang cantik dan lucu selain itu dia juga sangat menyayangi ibu, bapak, kakak serta neneknya, teman-temanya pun sangat suka dengan dia karena dinda adalah orang yang ramah, dia dikenal cerdas di sekolah dan selalu mendapatkan rangking 3 besar, guru-gurunya pun sangat menyayanginya. Beberapa minggu ini dinda merasa kasian kepada neneknya karena neneknya tidak mempunyai gigi, selain itu dia merasa neneknya pasti bosan makan bubur terus yang disiapin ibu dinda tiap makan pagi, siang maupun malam, “kasian sekali nenek tidak bisa makan apel” fikirnya. Dinda sering bertanya pada ibunya “kenapa sih bu nenek tidak punya gigi ?” kata-kata itulah yang selalu muncul di mulut kecilnya setiap hari saat makan bersama keluarganya, nenek yang sering mendengar perkataan dinda pun hanya tersenyum, setiap selesai sholatpun dinda selalu berdoa kepada Allah agar gigi neneknya tumbuh lagi, terkadang hal itulah yang membuat keluarganya geli dan semakin sayang padanya.
Kebetulan dinda sekolah di SD tunas bangsa yang bersebelahan dengan klinik gigi, sehingga tiap pulang sekolah dinda sering melihat orang-orang keluar masuk di klinik tersebut, “mungkin di sini bisa beli gigi buat nenek” ide itulah yang selalu muncul di pikiran dinda ketika melewati depan klinik tersebut. Akhirnya dinda berencana besok siang setelah pulang sekolah dia ingin ke klinik tersebut, kebetulan besok di sekolah nya ada rapat guru jadi bisa pulang lebih cepat, esok hari yang dinanti tiba dinda terlihat agak tegang selama di rumah dan di sekolah karena terus memikirkan rencananya siang nanti. TENG...TENG...TENG bunyi bel sekolah tanda pelajaran telah selesai berbunyi lebih cepat karena akan ada rapat guru jam 9 nanti. Dinda pun langsung bergegas keluar tak memperdulikan temannya yang mengajak ngobrol, gadis kecil itu menemui pak parjo tukang becak langganan yang tiap bulan diberi uang oleh ibunya untuk mengantar jemput dia sekolah. “ tunggu bentar ya pak saya mau ke tempat itu” tangan kecilnya menunjuk bangunan berwarna putih. “ya, neng” jawab pak parjo sambil tersenyum. Kemudian dinda berlari kecil ke klinik tersebut hingga sampai di depan pintu klinik. “Pintu ini kok aneh ngak seperti di rumah bukanya gimana ya?” fikirnya kemudian dia mengetuk-ketuk yang dia angap sebagai pintu tersebut. Kemudian dari dalam kelihatan kakak berbaju putih sedang berjalan menghampirinya. Tiba-tiba kakak yang berwajah manis itu sudah berjongkok untuk berbicara dengan dinda, “kenapa adik, kok ketuk-ketuk jendela” ujarnya pelan. “ohh, ini jendela ya kak, kirain pintu” ujarnya sambil garuk-garuk kepala, kemudian berucap lagi “ anu kak, nenek ku kan ngak punya gigi, apa aku bisa beli gigi buat neneku disini?’ ujarnya, kemudian kakak tersebut menjawab sambil tersenyum kecil mungkin karena meliat gadis lucu didepanya, “ ya dik, disini tempat untuk perawatan gigi kalau gigi sakit bisa kesini terus bisa juga buat gigi palsu, buatin gigi palsu buat neneknya adik juga bisa”, kemudian dinda tampak senang mendengar jawaban kakak tersebut kemudian dinda mengucapkan terima kasih dan segera berjalan ke pak parjo yang sedang menunggunya di depan sekolah “ah, aku akan menabung buat beli gigi nenek” fikirnya dengan hati senang.
Seminggu sudah berlalu dinda kini memegang uang sebanyak 16 ribu, hasil dia menabung selama seminggu uang jajanya yang diberi ibu 3rb setiap hari. Hari ini pulang sekolah dinda berencana beli gigi buat neneknya, seperti biasa dia menyuruh pak parjo menunggunya sebentar, kemudian dia berjalan ke klinik tersebut. Kali ini dia bisa masuk karena berbarengan dengan bapak-bapak yang keluar sambil membuka pintu. Kemudian dia menuju ke kakak yang dia ketemu minggu kemarin. “kak, aku mau beli gigi buat neneku” sambil menyodorkan uang ribuan kucel yang terlipat dengan rapi. Kakak tersebut heran kemudian berkata “ adik, kalau kesini ajak ibunya, ya” . “kenapa kak “ jawab dinda, “kalau kesini ajak ibunya biar ntar kakak jelasin ama ibunya”. “Kenapa-kenapa??” jawab dinda memaksa, “anu, dik disini kalau bikin gigi butuh uang yang tidak sedikit” jawabnya pelan “berarti uang dinda tidak cukup ?” , “bukanya tidak cukup tapi kalau kesini ajak ibunya ya”, kakak tersebut menjawab kemudian dia mengantar dinda keluar klinik dan tak lupa dinda mengucapkan terima kasih.
Dinda terlihat ingin menangis dan membuat pak parjo yang mengantarnya pulang pun bingung. Sampai dirumah dinda terlihat sangat sedih sekali dan murung sehngga membuat keluarganya kebingungan, saat makan malam pun dinda masih murung dikamarnya kemudian bapak menyuruh ibu untuk membujuk dinda makan malam. Ibu pun masuk ke kamar dinda dan membujuknya untuk makan malam, ternyata dinda sedang menagis tersedu-sedu. Ibunya pun berkata, “dinda kenapa? Kok nangis” dinda pun tidak menjawab, “ayo sayang ceritain ama ibu” kemudian dinda pun bercerita kepada ibunya sambil menangis, setelah mendengar cerita dinda ibunya pun menagis karena bidadari kecilnya punya pikiran seperti itu yang membuat haru batinnya sebagai ibu yang membesarkan dan mengandungnya selama 9 bulan. Kemudian ibu berkata “ ya udah dinda, besok ibu ama nenek ke klinik sebelah sekolahmu sekalian menjemput kamu sekolah ya”. “bener bu ? ibu mau beliin gigi buat nenek ? jadi nenek bisa maem apel ? jadi nenek tidak kasian lagi? Tanya dinda tanpa henti. “Iya, sayang” jawab ibu nya. Kemudian raut muka dinda terlihat senang dan kemudian memeluk ibunya, ibunya membalas pelukan dinda bidadari hatinya yang sangat dia sayangi sambil menangis bahagia.

Kamis, 17 Juni 2010

Rio Si Detektif Cilik

OLEH: Siti Maryam

Pemulung itu aneh, dia tidak seperti pemulung biasanya. Beberapa minggu ini Rio selalu bertemu pemulung itu pada saat pergi les awalnya Rio tidak merasa aneh, tapi makin sering dia bertemu, Rio semakin menyadari kalau pemulung itu tidak seperti pemulung biasanya ada beberapa hal yang janggal.
”Benar Ma, pemulung itu tidak tertarik pada sampah botol atau pun lainnya yang berserakan di jalan dan dia hanya tertarik pada satu tempat sampah yang berada di depan rumah besar di dekat lapangan kosong itu, selalu tempat yang sama dan dia selalu hanya mengambil sebuah bungkusan kecil bukan sampah lainnya,” Rio menjelaskan kecurigaannya pada Mamanya.
Mama Rio tersenyum mendengar cerita anaknya,
”Ah kamu seperti detektif saja, Rio. Jangan terlalu mencurigai orang lain,” kata Mama sambil meniriskan ikan yang barusan digoreng, kemudian ditaruh di atas piring.
”Nah lebih baik kamu bantu Mama taruh piring ini di meja makan,” kata Mama menyerahkan piring ikan goreng.
”Huhh...Mama ini selalu tidak percaya sama Rio,” sungut Rio sambil membawa piring ke meja makan.
Mama hanya tertawa.
***
Esok harinya, hari Sabtu Rio bertekad untuk memastikan kecurigaannya kalau pemulung itu memang hanya tertarik pada satu bak sampah itu saja. Hari ini Rio tidak les, jadi dia bisa memperhatikan pemulung itu lebih seksama. Rio menunggu di dekat bak sampah yang pemulung itu biasa hampiri. Ia berlagak seperti menunggu seseorang agar tidak dicurigai oleh pemulung itu, hari sudah semakin siang sudah hampir jam 2 kurang 15 menit lagi, biasanya Rio berpapasan saat jam segini. Rio sengaja datang lebih awal dari biasanya, ia menunggu dengan sabar, terkadang ia pura-pura melihat jam tangannya dan pura-pura mengecek HP-nya agar terkesan sedang menunggu orang.
Tiba-tiba orang dari rumah besar itu keluar dan membuang sebuah bungkusan kecil, Rio tidak terlalu memperhatikannya, paling hanya membuang sampah biasa, dan ia masih menunggu pemulung itu lewat. Akhirnya pemulung itu terlihat juga, Rio berusaha tidak terlalu memandangi pemulung itu, ia terus berdiri sambil melihat kejauhan dan sambil mencuri-curi pandang. Seperti kecurigaan Rio, pemulung itu tidak tertarik pada bak sampah lain, pemulung itu dengan santai melewati beberapa bak sampah di depan beberapa rumah dan terus berjalan ke arah bak sampah di depan rumah besar itu. Pemulung itu berpas-pasan dengan Rio, tapi pemulung itu tidak memperdulikan Rio dan terus berjalan. Rio tetap mencuri-curi pandang dengan hati-hati agar pemulung itu tidak curiga.
Saat pemulung itu dekat dengan bak sampah itu, Rio berpura-pura menjatuhkan uang sehingga ia bisa berpura-pura menghadap ke pemulung itu sembari memungut uang. Pemulung itu langsung menatap bak sampah itu dan dengan enteng mengambil bungkusan kecil seperti biasanya, hmm...tapi Rio merasa ada yang terlewatkan, hei bungkusan itukan baru saja dibuang oleh penghuni rumah besar itu? Mungkinkah mereka saling terkait? Rio tidak berani bertindak lebih jauh. Dia memutuskan untuk menceritakan pada pamannya yang seorang Polisi. Rio kemudian menunggu pemulung itu lewat sampai menghilang dari pandangan baru ia pulang ke rumah.
***
Rio menunggu sore hari saat pamannya pulang kerja baru meneleponnya, soalnya kalau jam kerja pamannya biasa sangat sibuk.
“Hallo paman? Ini Rio,” sapa Rio.
“Oh Rio, ada apa ini? Tumben kamu telepon paman,” sapa paman Rio yang bernama Susno. Rio kemudian menceritakan pengalamannya, mulai dari pemulung itu sampai bungkusan kecil yang ternyata berasal dari rumah besar itu.
“Hmm...ini menarik sekali, kamu yakin kalau pemulung itu hanya mengambil barang yang dibuang oleh rumah itu?” tanya Paman Susno memastikan.
“Aku baru sekali melihat penghuni rumah itu membuang bungkusan itu, tapi aku yakin kalau itu adalah bungkusan yang sama setiap kali aku melihatnya,” Rio menjelaskan.
“Baiklah, Paman akan memeriksa lebih lanjut. Kamu jangan bertindak lebih jauh, serahkan semua pada kepolisian.“ kata Paman Susno menasehati.
“Baik paman,” kata Rio.
***
Satu minggu berlalu tidak ada berita dari paman Susno, Rio baru saja pulang dari sekolah, perutnya sudah minta diisi. Rio mempercepat langkahnya menuju rumah. Di depan rumah dia melihat ada motor paman Susno dan sebuah mobil dari kepolisian.
“Ada apa nih?” Rio berpikir, dia kemudian masuk ke dalam rumah menemui Mamanya sedang berbincang-bincang dengan paman Susno dan dua orang polisi lainnya.
“Nah ini dia detektif cilik kita, selamat datang!,” sambut paman Susno.
Rio kebingungan.
“Rio, info yang kamu berikan telah membantu kepolisian bahkan masyarakat untuk memerangi Narkoba. Ingat tentang pemulung yang kamu bicarakan minggu lalu?” paman Susno berusaha menjelaskan situasi pada Rio.
Rio hanya mengangguk, tapi masih belum tahu maksud pamannya.
“Dia adalah kurir dari sebuah bandar narkoba, dan akhirnya dari sana kepolisian berhasil menggulung bandar narkobanya. Kamu tahu rumah besar itu adalah pabrik narkoba,” jelas paman Susno. Rio mulai menangkap apa maksud paman Susno, dia memang menduga ada yang aneh dari pemulung itu, tapi bandar narkoba? Rio tidak pernah berpikir sampai ke sana.
“Selamat Rio, ini ada ucapan terima kasih dari kepolisian dan secara tidak langsung kamu membantu masyarakat sekitar dalam menjaga lingkungannya, karena berkat kejelianmu sebuah pabrik narkoba berhasil kita gulung, dan banyak orang yang terselamatkan dari bahaya narkoba,” ucap Polisi yang satunya bersama dengan paman Susno sambil menyerahkan ijazah khusus partisipasi Rio juga sebuah tabungan pendidikan untuk Rio.
Rio menerima hadiah itu dengan bangga. Paman Susno bersama polisi yang lainnya menyalami Rio, Mama juga bangga pada Rio. Rio berjanji dia akan selalu menjaga lingkungannya dan kalau melihat sesuatu yang mencurigakan akan segera dia laporkan pada pamannya, eh Polisi maksudnya. Kalian juga kan?

Prambanan, Candi Seribu Cerita

OLEH: Kusworo Aris Prasetyo

Siang ini udara terasa menyesakkan dada, debu-debu berterbangan menambah rasa kekecewaan seorang anak usia 11 tahun yang sedari tadi berjalan menuju rumah usai melewatkan sekolah. Secara tergesa-gesa ia berjalan dan akhirnya sampai juga di rumah. Langsung saja ia masuk ke dalam dan langsung menuangkan air mineral kedalam gelas dan habislah dengan sekali teguk olehnya dan kemudian ia menuangnya kembali, memang hari ini begitu panas rasanya. Belumlah sempat ia kembali meneguk, tiba-tiba seseorang menegurnya dari belakang,
“Wah wah wah,,,anak Ibu sudah pulang tho...kok gak dengar suaranya.”
“Iya Bu, maaf tadi doni nyelonong masuk dan langsung minum, soalnya doni haus banget dari pulang sekolah tadi” jawab Doni.
“hmm, baju kamu sampai basah kena air tuh gara-gara minum tergesa-gesa.”
“Ya sudah sekarang kamu ganti baju, terus ambil air wudhu dan shalat, sudah waktunya shalat dzuhur, setelah itu kamu makan, ibu sudah masak masakan kesukaan kamu”.
Kemudian setelah ia selesai shalat, kemudian ia bergegas ke dapur untuk makan. Sebelum makan tak lupa ia berdoa terlebih dahulu, kemudian dilahapnya sambal kentang dan perkedel yang merupakan makanan favoritnya itu.
“Bagaimana tadi sekolahnya Don?” terdengar suara seseorang yang sepertinya sudah tidak asing lagi untuk doni.
“Eh Om Pras, kapan datang dari Semarang”?
“Tadi Pagi Don, wah keponakan Om ini ternyata sudah besar yah, padahal baru kemaren om gendong-gendong kamu”.
“Ah Om ini kan sekarang Doni sudah kelas 5 SD.”
“Sudah dapat kabar belum dari ayahmu Don?”
“Sudah om, minggu kemarin Bapak kirim telegram, bapak sekarang pindah tugas di Ambon.”
“Kasihan kamu Don punya bapak seorang tentara, jadi jarang bertemu”.
“Tapi Doni bangga tuh Om, kan Bapak menjalankan tugas Negara dan buat kemanusiaan juga.”
“Ya, ya, ya, benar juga, hebat kamu Don sudah mengerti tugas sebagai tentara”
“Ya kan Ibu sering cerita dan Doni juga dapat info dari berita di TV Om, hehehe…
“Yasudah berhubung Om lagi ambil cuti tiga hari ini, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan ke Candi Prambanan?”
“mau Om, Doni mau banget tapi Doni ajak teman Doni yah Om, si Adit.”
“Ya boleh ajak saja tapi harus minta ijin dulu sama orang tuanya.”
“Siap Om, laksanakan”. Hehehe. Seru doni layaknya seorang tentara.
Om Pras pun tersenyum dengan tingkah laku keponakannya yang berumur 11 tahun ini.
“Kamu sudah makan Pras?” Sapa Ibu Doni dari belakang.
“Oh Sudah mbak, ini lagi ngobrol-ngobrol sama doni, saya mau mengajaknya ke Prambanan besok.
“Ibu kok gak bilang kalo Om Pras ada di rumah?”
“Iya Ibu kan belum sempat kasih tau kamu, orang kamu dari tadi sibuk sendiri”
“Yah Ibu, lain kali bilang dong.” Yaudah, Doni main ke rumah adit dulu yah, mau ngajak adit ikut jalan-jalan sama Om Pras.”
“Ya sudah hati-hati, jangan pulang terlalu sore yah Don.”
“Iya Bu.”
Kemudian bergegaslah ia ke rumah Adit yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Adit adalah teman bermain Doni sejak kecil dan juga merupakan teman sebangku di kelas.
“Siang Bu, Aditnya ada?”
“Ada Don, masuk aja dia ada di kamarnya”
Setelah berada di kamar adit, doni pun kemudian mengajak adit ikut bersamanya ke Prambanan besok.
“Aku mau ikut Don, tapi minta ijin dulu yah ma ibu.”
“Iya dit.”
Kemudian adit menghampiri ibunya dan doni mengikuti dari belakang. Doni kemudian meminta ijin kepada Ibunya Adit untuk mengajaknya pergi ke Prambanan Besok.
“Kamu mau ke Prambanan Cuma berdua Don, nanti nyasar lagi?”
“Enggak kok Bu, ada Om Pras juga.”
“Lho Om Pras ada di rumah tho Don?”
“Ada Bu baru tadi pagi datang dan kebetulan sedang ambil cuti.”
“Oh yasudah kalau begitu Ibu ijinin adit buat ikut kamu.”
“Terimakasih ya Bu, besok Doni dan Om Pras jemput adit jam 9 pagi yah Bu.”
“Iya.”
Kemudian Doni pamit pulang dan menyalami tangan Ibu adit.
“sampai ketemu besok yah Don”
“iya Dit”.
………….
Keesokan harinya tepat jam 9 mobil yang dikendarai Om Pras sampai di rumah Adit. Tampak Adit sudah di teras depan bersama Ibunya.
Pagi Bu, apa kabar?sapa Om Pras
Sehat Pras. Saya titip Adit yah Pras
Iya Bu.
Adit, kamu jangan ngerepotin Om Pras yah dan jangan minta yang aneh-aneh
Iya Bu.
Ya sudah kalau begitu saya pamit ya Bu.
Kemudian mereka berangkat menuju Prambanan yang hanya berjarak sekitar 30 menit dari rumah.
Wah sudah sampai Prambanan.
Terlihat oleh Doni dan Adit bangunan megah nan cantik.
“Ayo Don, Dit.” Teriak Om Pras
“Bagus sekali Candi ini Om, orang-orang jaman dulu ternyata sudah pintar membuat candi yah Om?tanya Adit.”
“Ya benar itu Dit, sebenarnya bangsa kita itu pintar dan kuat asal bisa bersatu.
Om, Candi Prambanan ini gunanya buat apa yah Om?Tanya Doni.”
“Candi ini mulanya di bangun untuk tempat peribadatan agama Hindu Don, lihat arca patung-patungnya kebanyakan merupakan Dewa. Mulai dari Candi Wisnu, Syiwa, Brahma, mereka semua merupakan Dewanya agama Hindu dan candi ini dijadikan sebagai tempat pemujaaan bagi mereka. Kalau sekarang kan bisa dijadikan objek wisata Don, tetapi ketika Nyepi biasanya ada upacara keagamaan disini.”
Terus mereka bertiga berjalan mengitari Candi. Doni dan Adit sepertinya terkesima dengan bangunan yang unik, dinding yang tidak lazim dan ternyata ada gambarnya atau ukirannya. Adit pun lalu bertanya pada Doni.
“Don, kamu tau isi gambar yang diukir ini gak?”
“Yang pasti itu bukan gambar saya Dit, hehehehe.” Ya gak tau lah Dit, taunya tuh Cuma gambar orang ada laki-laki ada perempuan. Kamu tanya sama Om Pras aja.”
“Om kok dindingnya ada gambar orang-orang gitu, maksudnya apa yah Om?” Tanya Adit.
“Oh, itu ukiran namanya relief, yang kata orang merupakan ukiran gambar yang isinya menceritakan tentang cerita Ramayana, kamu tau cerita Ramayana Dit?”
Adit menggeleng tanda ia sama sekali tidak tahu.
“Ramayana?yang ada Hanomannya itu yah Om?”sergah Doni.
“Iya, pintar kamu Don, tau darimana?”
“Dari Bapak, soalnya bapak sering nyeritain tentang kera putih yang sangat sakti. Bapak kan orangnya senang nonton wayang, sampai-sampai dulu Doni kalau mau tidur didongengin cerita itu terus …”
Serentak Om Pras dan Adit tertawa mendengar perkataan Doni yang lugu barusan.
Cukup lama mereka mengitari Candi Prambanan. Sembari berjalan Om Pras selalu menceritakan tentang berbagai hal tentang candi Prambanan seperti menceritakan patung ganesha yang merupakan lambang dari dewa ilmu pengetahuan, terus sampai patung Roro Jonggrang yang terkenal karena cerita rakyatnya yang menceritakan bahwa Roro Jonggrang terkena kutukan oleh Bandung Bondowoso dan menjadi Patung pelengkap seribu candi di Prambanan ini.
Setelah Puas berkeliling Candi, Om Pras pun mengajak doni dan adit untuk makan siang disalah satu rumah makan yang terdapat di sekitar candi Prambanan. Mereka bertiga kemudian makan dengan lahapnya, maklum mengelilingi Candi berukuran besar dan luas tadi benar-benar menguras tenaga mereka. Setelah selesai makan, Om Pras pun bertanya kepada Doni dan Adit.
“Bagaimana nih perasaan kalian setelah jalan-jalan ke Candi Prambanan bareng Om hari ini?”
“Seru Om….!”jawab Doni dan Adit bersamaan.
“Iya Om ternyata bangsa kita memiliki banyak kebudayaan salah satunya Candi Prambanan ini.” Sambung Adit.
“Selain itu kita banyak mendapat pengetahuan dari fungsi candi, isi candi, patung-patungnya. Pokoknya seru lah Om. Kapan-kapan ajak kita jalan-jalan lagi yah Om, Sambung Doni.”
“Iya nanti kalau ada waktu lagi Om ajak kalian berdua jalan-jalan lagi sama Om.
Ya sudah sekarang kita Pulang yuk.” Ajak Om pras.
“Ayo pulang…!teriak doni dan adit penuh semangat.
Kemudian mereka Pulang dengan membawa kenangan dan beragam cerita dalam hati mereka sendiri. Sepertinya mereka benar-benar menikmati acara jalan-jalan kali ini dan terbersit dalam hati masing-masing akan keindahan dan keaneka ragaman kebudayaan negeri tercinta ini.

BAJU MERAH MUDA BUATAN BUNDA

OLEH: Ismiyati

Suatu ketika, bunda sedang menjahit pakaian anak. Modelnya sangat lucu, dan berwarna merah jambu, pasti akan sangat cocok apabila dipakai sesa.
Sesa bertanya kepada bunda:
“Bunda, baju siapa yang bunda jahit?” Lucu sekali. Buatkan sesa baju seperti itu Bunda.”
“ Nanti sayang, nanti akan bunda buatkan sama seperti ini.”
Sesa termenung sedikit kecewa dengan jawaban bundanya. Perlahan dia jalan menuju kamarnya. Dalam hati Sesa sangat ingin mengenakan baju yang dibuat bunda, tapi mengapa bunda tidak mengerti keinginan Sesa. Sesa pun kembali termenung. Bunda kemudian menyusul ke kamar Sesa. Bunda mendekati Sesa, kemudian bunda berbicara pada Sesa.
“Sayang jangan sedih, nanti cantiknya hilang.”
“Sesa mau baju itu bunda, baju itu bagus sekali. Kenapa bunda tidak membuatkan untuk Sesa? Apa bunda tidak sayang kepada Sesa? Bunda membuat baju itu untuk orang lain?”
Dengan kepolosannya, Sesa mengira baju anak yang dibuat bunda adalah untuk anak lain.
Sesa tahu bunda adalah penjahit yang ulet, penjahit yang selalu melayani pelangannya dengan sepenuh jiwa bunda. Memenuhi keinginan para pelanggan yang menjahitkan baju ke tempat bunda dengan beraneka macam model, baik model yang simple maupun model yang susah. Yang Sesa ketahui, selama ini bunda menjahit baju- baju orang dewasa, karena memang jarang sekali ada jahitan anak kecil, jadi ketika Sesa mengetahui bunda menjahit pakaian anak, Sesa langsung berpikiran bahwa baju yang dibuat bunda adalah untuk Sesa.
Bunda dan Sesa hanyalah keluarga kecil yang tetap berusaha untuk hidup penuh ketentraman dan berbahagia. Ayah Sesa meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan motor, saat hendak berangkat kerja. Bunda dengan segenap jiwa dan sepenuh hati berusaha dan berjuang untuk membesarkan sesa seorang diri. Banyak sekali tawaran-tawaran kepada bunda untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih dari pada menjahit, tetapi tawaran itu selalu ditolak oleh bunda. Bunda menganggap bahwa pekerjaan bunda yang sesungguhnya adalah menjahit. Bunda sudah lama menggeluti pekerjaan ini. Sudah banyak pelanggan yang datang, dan bunda yakin bahwa rizki setiap orang sudah ada yang mengatur. Bunda percaya akan kebesaran Allah.
Hari ini adalah hari pengumuman lomba menggambar tingkat Provinsi yang diadakan oleh pemerintah Kota seminggu yang lalu. Sesa mengikuti lomba mewarnai tersebut. Sesa memang mempunyai kegemaran menggambar dan mewarnai. Sesa sering kali mengikuti acara-acara lomba menggambar dan mewarnai tetapi belum sekalipun menjadi Juara Umum. Sesa hanya beberapa kali menjadi juara satu tetapi tingkat kabupaten dan juara-juara harapan yang lainnya. Harapan bunda begitu besar ketika Sesa mengikuti lomba menggambar tingkat provinsi kemaren. Disamping akan menambah jumlah piala koleksi Sesa, juga akan mendapatkan uang pembinaan yang nantinya akan menambah uang tabungan Sesa dan itu akan memacu sesa untuk lebih giat dan lebih terampil nantinya.
Pagi-pagi sekali bunda membeli Koran. Sesa masih tertidur lelap di kamar. Bunda sangat berharap Sesa menjadi yang terbaik dalam lomba tingkat provinsi kemarin. Dengan tergesa-gesa bunda membuka lembaran demi lembaran Koran. Bunda mencari daftar nama-nama pemenang lomba menggambar yang juga diikuti Sesa. Hati bunda begitu berdetak kencang, mata bunda terhentak kaget tak percaya, bundapun tak kuasa menahan tangis. Dalam sujud syukurnya, bunda menangis, bunda tak percaya akhirnya Sesa mendapatkan kemenangan. Bundapun memeluk Sesa dengan penuh kebanggaa yang tak terkira bahagianya. Sesa terbangun, Sesa sangat kaget melihat bunda memeluk Sesa sambil menangis.
Sesa bertanya kepada bunda:
“ Bunda, mengapa bunda menangis? Sesa bangunnya kesiangan ya bunda?”
Bundapun menjadi tersenyum bahagia, sangat bahagia. Kemudian bunda menjawab:
“Tidak sayang, kamu tidak bangun kesiangan. Kamu masih tertib seperti biasanya, kamu adalah anak bunda yang paling berarti dalam hidup bunda. Kamu adalah jempolan bunda, kamu kebanggaan bunda, kamu junior bunda sayang.”
“Terimakasih bunda, setiap pagi Sesa selalu mendapatkan kata-kata yang terindah dari bunda, membuat Sesa tambah semangat untuk bersekolah dan menuntut ilmu. Sesa sayang sekali kepada bunda. Tapi bunda, apa yang membuat bunda menangis?”
“Iya sayang, bunda juga sayang Sesa, sayang banget anaku. Bangun yuk, bunda ada hadiah buat kamu, tapi kamu harus mandi dulu, sarapan. Nanti, setelah Sesa siap berangkat sekolah, baru bunda tunjukan hadiah buat Sesa dan Sesa akan tahu mengapa bunda sampai menangis.”
Sesa pun dimandiin bunda, kemudian dipakaikan baju seragam dan bersiap untuk sarapan pagi. Selesai sarapan, masih ada waktu yang tersisa sebelum Sesa harus berangkat sekolah. Bunda memangku Sesa, Sesa pun riang gembira mendapat pangkuan dari bunda sebelum dia harus berangkat sekolah.
“Sayang, selamat ya sayang. Kamu berhasil anaku sayang.”
“Berhasil apa bunda? Berhasil membuat bunda menangis ya? Kenapa tadi bunda menagis? Kenapa bunda? Apa sesa ada salah sehingga membuat bunda menagis di pagi hari?”
“Tidak sayang, bukan itu. Selamat sayang, kamu mendapat juara umum lomba yang kamu ikuti seminggu yang lalu di Balai Kota. Alhamdulillah Kamu menjadi juara umum anaku. Bunda sangat bangga kepadamu.”
“Benar bunda? Sesa menang lomba menggambar kemarin? Alhamdulillah, Sesa senang sekali bunda. Yeee, horeee, Sesa menang, Sesa menjadi juara umum. Yes, hari ini Sesa akan kabarkan kepada ibu guru dan teman-teman Sesa, bahwa Sesa menang dan menjadi juara umum, pasti semuanya akan merasakan kebahagiaan yang bunda dan Sesa rasakan saat ini.”
“Iya sayang, pasti ibu-ibu guru dan semua teman-teman kamu sangat bahagia mendengarkan kabar yang akan kamu sampaikan nanti.”
“Sebentar ya sayang, kamu tunggu di sini dulu, bunda akan mengambilkan sesuatu buat kamu.”
“Ambil apa bunda? Uang jajan buat Sesa ya? Asyik-asyik pasti uang jajan Sesa akan dikasih lebih oleh bunda.”
Bunda pun masuk ke kamar mengambil hadiah yang mungkin akan sangat membuat Sesa terkejut bahagia.
“Nah, ini hadiah dari bunda buat Sesa sayang. Bukankah Sesa menginginkan baju ini?”
“Lhoh, baju merah muda lucu yang bunda jahit kemarin? Ini bukan untuk anak lain bunda? Ini untuk Sesa?”
“Iy sayang, ini memang special bunda buatkan untuk kamu. Bunda yakin bahwa kamu pasti akan menang, makanya bunda menyiapkan baju ini untuk kamu.”
“Horeee, Sesa dapat baju bagus dari bunda. Baju yang Sesa mau. Horeeee. Horeee. Horeee. Alhamdulillah, hari ini Sesa mendapatkan banyak kejutan dari bunda. Sesa senang sekali bunda. Alhamdulillah ya Allah, terima kasih untuk semua yang Allah berikan kepada bunda dan Sesa.”
“Ya sudah, sekarang waktunya Sesa berangkat sekolah. Yuk nak, bunda anter Sesa sekarang. Hari ini kan Sesa ada upacara rutin setiap hari Senin, jadi Sesa tidak boleh sampai terlambat.
“Siap bundaku sayang…”

Dino Namanya

Oleh: Fikri Yulaihah

Dino namanya. Salah seorang murid yang sukanya hanya bermain dan bermain. Dia adalah murid pemalas nomor dua di kelasnya. Kalau sedang pelajaran ia selalu mengajak teman sebangkunya bercerita. Boleh saja kalau yang diperbincangkan tentang pelajaran yang sedang dibahas di kelas, tetapi yang dia bahas adalah mengenai rencananya membolos sekolah hanya untuk bermain PS dekat pintu gerbang sekolahnya.
Baginya, bermain adalah dunianya, dan sekolah adalah beban yang hanya membuat bosan saja. Meski demikian, Dino termasuk anak yang cerdas di kelasnya. Sejak kelas I hingga kelas IV sekarang, ia selalu menjadi bintang kelas. Pembaca yang budiman, jangan dicontoh kelakuan si Dino yang tidak baik itu, dicontoh yang baik-baik aja ya teman-teman.
Ada satu lagi kebiasaan dari Dino. Pengen tahu nggak nih temen-temen??? Ternyata dia itu punya kebiasaan pura-pura tidak mendengar semua perkataan yang ada di sekitarnya. Maksudku, Dino suka pura-pura tuli gitu deh. Pernah waktu pelajaran Bahasa Indonesia, Bu guru sedang bercerita tentang Malin Kundang, dan semua anak mendengarkan cerita Bu guru dengan seksama. Tetapi tidak berlaku buat Dino, dia malah asyik tidur. Wah wah wah, anak yang satu ini sungguh aneh.
Ketika Bu guru sudah selesai bercerita, kemudian menawarkan kepada anak-anak siapa yang mau menceritakan kembali cerita itu di depan kelas. Karena hanya Dino yang tidak memperhatikan cerita, akhirnya Bu guru menyuruh dia maju di depan anak-anak untuk bercerita mengenai Malin Kundang.
“Ayo Dino maju. Dino… Dino… Dino,” panggil Bu guru sambil mendekat di bangku Dino.
Lama sekali Dino tidak menyahut, hingga Bu guru agak marah, “Muridku yang pandai, telinga itu gunanya untuk apa?”
“Untuk mendengarkan, kenapa bu guru tanya pertanyaan yang semua orang udah tahu Bu?”
“Nah itu Dino tahu. Kalau Dino punya telinga, tadi Bu guru bilang apa ke kamu Nak?”
“Baik bu, sekarang Dino mau bicara, tapi besok-besok lagi Dino gak mau lagi lho, Dino nggak mau mendengarkan cerita dari Bu guru, bagusan cerita kartun di tv yang Dino tonton, betul nggak temen-temen?”
“Betuuuulllllllll……………,” jawab murid-murid lainnya.
“Sudah sudah, yang penting sekarang Dino maju dulu.”
Meski demikian, Bu guru sebenarnya di dalam hati menggerutu, “Ada-ada saja muridku yang aneh seperti ini. Sebagai guru, saya harus lebih sabar.”
Lima menit telah berlalu. Dino mampu menceritakan setiap detail cerita yang Bu guru ceritakan. Setelah selesai bercerita di depan teman-temannya Dino berkomentar.
“Ngapain percaya sama cerita Malin Kundang. Menurut Aku, kalau semua anak durhaka dikutuk menjadi batu, berarti semua ibu jahat dong.”
“Kata ibu guru Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. Wah, berarti ibu guru mengarang peribahasa sendiri ya? Hayooo ibu guru ketahuan bohongnya nih.”
****
Sudah satu minggu lebih Dino tidak masuk sekolah. Kelas jadi mendadak sepi, karena Dinolah yang suka gaduh dan jail di kelas itu. Teamn-temannya tidak ada yang tahu kenapa Dino tidak bisa masuk sekolah. Tidak terkecuali dengan guru-guru yang lainnya.
Minggu berikutnya datanglah seorang ibu mengantarkan surat ijin ke sekolah itu. Beliau adalah ibunya Dino. Isi surat itu menyatakan bahwa Dino sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit.
Setelah kedatangan surat ijin itu, Bu guru mengumumkan agar mereka semua menjenguk Dino di Rumah Sakit. Murid-murid pun setuju. Bagaimanapun nakalnya, Dino masih dianggap sebagai teman yang baik di mata teman-temannya.
“Dino sakit apa Bu?”, Tanya Bu guru kepada ibu Dino.
“Kata dokter, Dino mengalami gangguan THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Ada kotoran di telinga Dino yang menjadikan Dino kesulitan mendengar.”
Salah satu temannya ada yang nyeletuk, “bu guru, itu karena Dino punya kebiasaan pura-pura tuli Bu.”. Mendengar kata-kata yang diucapkan Dani mendadak anak-anak seisi ruangan itu pun kompak tertawa ha... ha… ha …ha… ha… ha….
“Dani!! Jangan semabarangan ngomongnya.”
“Eits salah. Maaf Bu, tadi saya salah ngomong, hehehe.”
-The End-

DIVA NGGA MAU PUNYA ADIK…!

OLEH: Aulia Destinia Furri

“JDERR!!”, “Pokoknya Diva ngga mau punya adik”. Lagi-lagi kata-kata itu yang kudengar dari mulut adik kecilku Diva. Belum sempat aku mengucapkan salam dan masuk kedalam rumah, aku sudah disambut dengan teriakan dan tangisan diva yang membanting pintu kamarnya.
Adik kecilku itu memang baru berusia lima tahun, dan sulit baginya untuk membagi kasih sayang dari bunda dan ayah untuk adik baru kami nanti. Sekilas teringat lagi olehku saat diva lahir dan aku resmi menjadi kakak. Saat itu usiaku baru genap menginjak tujuh tahun, sama seperti diva, aku pun sempat merajuk dan mengunci diri di dalam kamar. Aku tidak mau membagi kasih sayang bunda dan ayah dengan adik baru nanti, ditambah lagi ejekan dari teman-teman yang mengatakan bahwa aku tidak akan disayang lagi jika adikku lahir kelak, dan kini aku amat mengerti apa yang ditakutkan oleh diva.
Perlahan kuketuk pintu kamarnya.
“siapa?”, perlahan terdengar suaranya, serak, pasti dia sedang menangis seperti biasanya batinku.
“ini kakak, boleh kakak masuk?”
“boleh”
Diva langsung memeluk tubuhku saat aku masuk. Dan seperti biasa kata –kata yang keluar adalah “Diva ngga mau punya adik, kak”. Dengan sabar aku menggendong tubuh mengilnya dan meletakannya kembali diranjang. Matanya terlihat bengkak, pemandangan yang selalu kulihat setiap hari selama sebulan terakhir ini. Awalnya bunda dan ayah belum memberitahukan hal ini pada diva, namun sejalan dengan waktu akhirnya diva pun tahu. Masih teringat dipikiranku kejadian sebulan yang lalu saat Diva bertanya dengan polosnya pada bunda
“kok perut bunda gede sih?, belum poop ya?”
“ahh..memang bunda kelihatan gendut yah?” jawab bunda.
Sejak itulah akhirnya Diva pun tau. Awalnya Diva tidak mempermasalahkan kedatangan adik baru ini, namun suatu hari saat pulang sekolah Diva menangis, teman-temannya mengejeknya, mengatakan hal yang sama persis dengan yang dikatakan teman-temanku dulu, bahwa Diva tidak akan disayang lagi jika adik baru itu lahir nanti. Bayangan-bayangan itu membuatku sedikit bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Diva, walaupun aku sepenuhnya juga belum mengerti tentang urusan orang dewasa.
“Diva ngga boleh sedih terus”, bujukku. “tadi di sekolah belajar apa?”
Seperti biasa Diva selalu antusias bila ditanya tentang kesehariannya disekolah. Dengan semangat ia mulai bercerita tentang temannya yang ngompol dikelas, dirinya yang slalu dapat bintang dalam pelajaran mewarnai dan menyanyi, tentang ibu gurunya yang cantik, bahkan satpam sekolahnya pun tidak luput menjadi objek celotehan mungilnya. Dan biasanya hal ini selalu berhasil untuk mengembalikan keceriaannya.
Sejalan dengan waktu, tangisan dan teriakan Diva pun semakin sering terdengar. Tak jarang malah dia tidak mau berangkat ke sekolah, takut diejek teman-teman katanya. Bila sudah begini, biasanya bunda hanya bisa menenangkan secukupnya, karena bunda sudah tidak bisa menggendong diva lagi.
“Bunda sayang diva, bentar lagi kan Diva jadi kakak seperti kak keyra, makanya Diva jangan nangis terus dong”.
Aku hanya bisa tertawa jika Diva sudah melancarkan aksi ngambeknya, sambil sesekali menggodanya dengan mengatakan malu jika adik lahir nanti dan tau kalau kakaknya cengeng.
Suatu hari ayah datang kesekolah. Aku heran karena waktu itu belum jam pulang sekolah dan tidak biasanya ayah menjemput. “Bunda dirumah sakit”, katanya. Dan aku harus pulang untuk menemani Diva dirumah. Kali ini ayah terlihat panik, tidak seperti saat bunda melahirkan Diva dulu. Aku pun ikut takut dan menangis dimobil sepanjang perjalanan pulang kerumah. Ayah mengatakan bahwa bunda harus dioperasi dan ayah harus mencari pendonor darah untuk bunda. Tidak semuanya dari perkataan ayah dapat kumengerti. Namun kata operasi sering kuterima dalam pelajaran Biologi disekolahku. Membelah tubuh dan darah akan banyak keluar. Terbayang olehku tubuh bunda yang terbaring di rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis.
Sesampainya dirumah aku langsung menemui Diva dikamarnya.
“Bunda dimana kak? bunda kenapa?. Diva janji ngga nakal lagi kalau bunda pulang”
Saat itu aku hanya bisa memeluknya sambil ikut menangis. Sulit untuk menceritakan semuanya pada Diva. Aku tidak mengerti dan aku yakin Diva pun akan lebih tidak mengerti dari aku. Satu kalimat yang keluar dari bibirku
“bunda dioperasi dik, kita berdoa sama-sama ya buat bunda”
“operasi itu apa kak?, diva takut kalau bunda pergi seperti ibunya mutia, nanti ngga ada yang gendong Diva lagi.
“Bunda ngga akan pergi kok, makanya sekarang kita berdoa buat bunda ya..”
Samar kudengar bunyi klakson mobil ayah didepan rumah, kami pun menghambur keluar. Ayah keluar dari mobil sambil menggendong Diva dan berkata “adiknya perempuan”. Sepintas kulihat rona merah diwajah ayah, rona yang aku yakini sebagai rona bahagia.
“siapa yang mau ikut lihat adik bayi?” ayah berkata
“akuuuu……” Diva menyahut dengan ceria dan bahagia, tidak tampak lagi raut penolakan dalam wajahnya. Kami langsung bergegas mengganti seragam sekolah dan naik ke mobil. Sepanjang jalan aku hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan polos dari bibir Diva tentang adik barunya yang lucu, dan ayah hanya bisa menjawab seadanya sambil sesekali tersenyum.
Sesampainya dirumah sakit kami belum boleh melihat bunda. Kondisi bunda masi lemah kata Pak Dokter dan kami belum boleh mengganggunya. Tapi kami boleh melihat adik baru, walaupun hanya bisa mengaguminya dari luar, karena adik diletakan dalam ruangan kaca yang entah apa namanya.
“Diva senang?” aku mulai berkata.
“seneng banget..”
“ngga takut kalau nanti bunda ngga sayang Diva lagi?” aku mencoba mengusiknya dengan pertanyaan itu. Namun dengan yakin dan sambil memamerkan kedua lesung pipinya dia berkata
“kan bunda sayang semua, sayang dia, sayang kak keyra, dan sayang dik alya”
“dik alya?”
“iyaa, Diva suka nama, buat adik baru, namanya baguskan kak?”
“bagus.”
“alya”,seru kami berdua serempak lalu tertawa.

Mon-Mon dan Nyit-Nyit

OLEH: Ria Rachmawati

Di dalam hutan yang lebat, hiduplah seekor semut yang baik hati yang bernama Mon-Mon. Semut itu memiliki keluarga yang sangat dia cintai. Di dalam kelompoknya, semut itu dikenal sangat pandai dan suka sekali menolong. Jika ada teman atau saudaranya sedang mengalami kesulitan, semut itu akan segera datang untuk membantunya.
Pernah terjadi ketika Mon-Mon sedang asyik jlan-jlan disore hari, dia melihata ada semut lain yang sedang terduduk lemas di pinggir jalan. Setelah ditanya, ternyata semut itu lemas karena tidak makan selama 2 hari. Lalu Mon-Mon segera pergi ke rumahnya dan mengambilkan makanan untuknya. Semut itu langsung berterima kasih kepada Mon-Mon, jika tidak ada Mon-Mon, dia tidak tau sampai kapan harus menahan laparnya.
Di sarang tempat Mon-Mon tinggal, pernah ada pertikaian antara dua ekor semut yang sama-sama tidak mau mengalah. Kedua semut itu bersikeras bahwa mereka yang paling benar. Pak Bim-Bim dituduh mencuri oleh Pak Cun-Cun. Pak Bim-Bim tidak terima dituduh seperti itu, akhirnya kedua semut itu bertengkar dengan hebat. Lalu Mon-Mon datang dengan untuk menyelesaikan masalah itu. Mon-mon bertanya baik-baik kepada kedua belah pihak apa yang telah terjadi dan kenapa bisa terjadi seperti itu. Akhirnya setelah Mon-Mon mengetahui semua yang terjadi, dia lantas menyimpulkan bahwa barang yang dicari Pak Cun-Cun mungkin hanya terselip di suatu tempat di rumahnya. Setelah dicari dengan teliti, barang itu memang terselip dan dapat ditemukan oleh Pak Cun-Cun.
Pak Cun-Cun lantas minta maaf kepada Pak Bim-Bim karena telah menuduh yang bukan-bukan kepadanya. Dia sangat berterima kasih kepada Mon-Mon karena telah memecahkan masalah yang dialaminya.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa sarang mereka kedatangan anggota baru. Namanya Nyit-Nyit. Nyit-Nyit adalah semut yang terpisah dari kelompoknya ketika melakukan perjalanan. Nyit-Nyit ditemukan oleh Mumun teman dekat Mon-Mon di bawah pohon besar. Semut itu terlihat lemas dan hanya bisa terduduk lemas.
“Ketika aku melihanya, dia seperti hampir pingsan, untungnya aku membawanya ke sarang kita. Kalau tidak pasti dia sudah di usilin sama semut-semut jahat”, cerita Mumun kepada Mon-Mon. Mon-Mon jadi penasaran dengan ceria Mumun, ingi dia bertemu dengan Nyit-Nyit.
Namun ketika anggota sarang tahu bahwa akan ada penguhuni baru, banyak warga yang tidak setuju terutama Pin-Pin. Pin-Pin adalah salah satu semut yang paling cantik dan pandai di sarang itu. Tapi Pin-Pin memiliki sifat-sifat jelek yang sering diperlihatkan pada anggota semut yang lain. Karena mamiliki paras yang cantik, Pin-Pin selalu membanggakan kelebihannya itu. Pin-Pin tidak suka jika ada yang menandingi kecantikan dan kepandaiannya.
Pin-Pin tidak suka jika Nyit-Nyit jadi salah satu anggota di sarangnya karena Nyit-Nyit memiliki wajah yang lebih cantik daripada dia. Pin-Pin berusaha menghasut sebagian besar anggota sarang untuk mengusir Nyit-Nyit. Pin-Pin menyebar fitnah bahwasannya Nyit-Nyit dating dengan membawa wabah penyakit yang bisa menular keseluruh warga.
“Kalian semua tahu tidak, Nyit-Nyit itu membawa wabh penyakit ke sarang kita. Dia itu diusir oleh kelompoknya karena punya penyakit. Jadi jangan sampai dia tinggal di sini”, Pin-Pin berusaha menyakinkan anggota sarang dengan hasutan jeleknya.
Ketika mendengar kabar burung tentang penyakit itu, Mon-Mon berusaha mencari kebenarannya. Dia datang menemui Nyit-Nyit dan bertanya tentang semua yang terjadi. Ternyata Nyit-Nyit sedang menderita sakit seperti kabar yang dibicarakan. Tapi Nyit-Nyit hanya sakit demam biasa yang terjadi karena dia telat makan gara-gara tertinggal dari rombongannya.
Mengetahui ketidakbenaran kabar itu, Mon-Mon langsung menemui para anggota sarang dan memberitahukan kebenarannya. Mon-Mon lantas bertanya kepada mereka siapa yang telah menyebarkan berita kebohongan itu. Mereka lantas saling menuduh satu sama lain, namun akhirnya dapat diketahui bahwa Pin-Pinlah yang telah menyebarkan berita itu.
Anggota sarang langsung marah ketika mengetahui bahwa Pin-Pin menyebarkan berita yang tidak benar. Mereka berniat mendatangi Pin-Pin dan mengadilinya. Namun Mon berhasil menghalangi hal tersebut, Mon-Mon takut nantinya Nyit-Nyit akan dihukum anggota sarang yang lain.
Pin-Pin sangat malu ketika didatangi para anggota sarang, dan akhirnya dia menangis dan menyesali semua tindakannya. Dia lantas mendatangi Nyit-Nyit untuk menjenguknya dan juga untuk meminta maaf. “Nyit-Nyit…maafkan aku ya udah menfitnah kamu, aku kemarin iri melihat teman-teman bisa menerimamu dengan baik, apalagi kamu juga cantik dan banyak yang suka sama kamu. Tapi aku sekarang sudah sadar kok Nyit kalau semua yang aku lakukan itu salah, maafkan aku ya Nyi, aku janji nggak akan mengulanginya lagi.” Pin-Pin berkata dengan nada yang memelas.
Nyit-Nyit sangat bahagia akhirnya dia dapat diterima dengan baik di sarang semut baru itu. Dia tidak menyimpan dendam kepada Pin-Pin walaupun dia telah melakukan hal yang merugikannya, dia bisa memaafkan kesalahan Pin-Pin dengan besar hati.
Nyit-Nyit juga berterima kasih kepada Mon-Mon, jika tidak ada dia, Nyit-Nyit tidak tau apa yang akan terjadi bila tidak ada Mon-Mon yang membantunya. Dia berjanji akan menjadi warga yang baik di sarang barunya itu.

Liburan Jon Bersama Ayah

OLEH: Herry Ahmadi

Pada suatu hari di kota Cmyk, kota yang kecil dan tidak terlalu banyak penduduknya. Di kota Cmyk tinggal seorang anak bernama Jon bersama ayahnya yang seorang fotografer, jon berumur 9 tahun dan dia bersekolah di SD Cmyk Jon tidak memiliki banyak teman karena untuk anak seusianya dia pendiam tapi rasa ingin tahunya besar mungkin sifat ini dikarenakan dia selama ini ditinggal ibunya bekerja di luar negeri –ibu Jon seorang pedagang yang berpindah-pindah tempat tinggalnya.
Hari ini adalah hari liburan tiba anak-anak SD Cmyk gembira menyambut hari Jon pun demikian dia dengan semangat ingin menghabiskan liburannya bersama teman-temannya, Jon langsung ke rumah dan mempersiapkan diri untuk berlibur ayahnya yang memperhatikan Jon bertanya “hari ini tampak ceria sekali kamu, Jon”, “ak besok mau liburan yah, hari ini hari libur sekolah” jawab Jon riangnya, ayahnya hanya tersenyum melihat anaknya sedang gembira dan bertanya Jon ingin berlibur kemana Jon mengatakan dia belum tahu ingin liburan kemana karena dia masih menunggu kabar dari teman yang mengajaknya berlibur.
Beberapa hari setelah awal libur sekolah Jon akhirnya mendapat kabar dari temannya dan ternyata teman Jon batal liburan bersama Jon karena dia akan pergi bersama orang tuanya berkunjung ke tempat kerabatnya, Jon pun kecewa tapi dan hanya terdiam di kamarnya. Ayah yang melihat Jon berdiam diri di kamarnya saja merasa kwatir dengan keadaan anaknya, lantas ayah bertanya kepada Jon mengapa dia berdiam diri di kamar bukankah Jon mau berlibur bersama teman-temannya, “teman ku pergi bersama orang tuanya” jawab Jon singkat. Akhirnya ayahnya mencoba menghibur Jon dengan mengajak Jon pergi bersamanya “ayah ada acara hunting untuk waisak besok, kalau kamu mau kamu bisa ikut” Jon pun berpikir sejenak “baiklah, yah”, “Jon juga tidak ada acara selama liburan ini” Jon pun segera menanyakan apa saja yang harus dipersiapkan untuk hunting bersama ayahnya dan ayahnya menjelaskan apa saja yang Jon harus bawa.
Ayah dan Jon akhirnya pergi ke candi Borobudur mereka akan menghadiri prosesi upacara waisak yang ingin ayah Jon foto, setelah sampai di lokasi ayah langsung bersiap-siap dan mengatur kameranya, sedangkan Jon melihat ayahnya mempersiapkan kamera. Setelah selesai mempersiapkan kamera dan mengaturnya ayah mengajak Jon berkeliling candi Borobudur, Jon pun diceritakan ayahnya mengenai sejarah candi Borobudur dan Jon pun tertarik dengan stupa-stupa yang ada di candi ayah Jon menjelaskan bahwa stupa-stupa itu bercerita, ada yang bercerita tentang peperangan, kerajaan, perbuatan baik dan buruk, dan masih banayak lagi.
Setelah puas berkeliling dengan ayahnya, Jon melihat ayahnya mencari foto prosesi waisak. Setelah beberapa kali foto ayah mendatangi Jon “apakah kamu mau mencoba mengambil gambar Jon?” kata ayah sambil memberikan kameranya pada Jon “tapi aku belum pernah pegang sebelumnya, yah” sahut Jon bingung “tidak apa-apa Jon kamu tinggal cari yang kamu mau foto dan tekan tombolnya –sambil menunjuk tombol shutter” jelas ayah, Jon pun memberanikan diri untuk mencoba kamera ayahnya dan setelah beberapa kali mengambil foto Jon pun tertarik mencoba terus hingga akhir acara Jon yang mengambil foto ayahny hanya melihat dengan senang karena anaknya sudah melupakan kesedihannya karena tidak jadi berlibur dengan teman-temannya.
Setelah acara prosesi selesai dan Jon lelah, ayah mengajak Jon pulang diperjalanan pulang Jon berkata pada ayahnya “yah, bolehkah selama liburan ini aku diajari foto” “boleh saja, sayang” jawab ayah sambil tersenyum, Jon pun senang diliburannya kali ini dia bisa mempelajari hal baru bersama ayahnya. Sesampainya di rumah Jon merasa lelah karena seharian mencari foto bersama ayahnya dan dia pun ingin tidur di kamarnya, tiba-tiba ayah datang ke kamar Jon dan ayah bilang “Jon ada telepon dari ibumu” Jon pun mengangkat telpon dari ibunya dan menceritakan semua kegiatan liburan pada ibunya dengan riangnya.

Hadiah Istimewa

OLEH: Widi Hartanto

Ita masih asyik menonton kartun minggu kesukaannya. Ia pura-pura tidak mendengar. Berulang kali panggilan ibunya tidak dipedulikannya. Ia tahu, pasti ibu mau menyuruhnya lagi. Ita malas kalau disuruh bolak-balik ke warung Pak Todi.
“Ita, tolong ibu belikan gandum tiga kilogram ya?” ibunya akhirnya datang ke ruang tamu. Tangan dan wajah ibu belepotan adonan roti. Ita menoleh, tapi hanya diam.
“Ita…Ita, Ibu dari tadi memanggilmu. Kok kamu tidak datang? Tolong ya, soalnya ibu masih repot,” ucap Ibu lagi.
Nah, benar kan. Huhh. Batin ita kesal. “Bu, Ita capek. Bentar yaa, ini kartunnya lagi seru. Masa dari tadi disuruh terus!” tolak Ita.
“Ini Ibu lagi repot sayang” lanjut ibunya lagi. Ita tidak menggubris, wajahnya cemberut. Ibu menarik nafas panjang, menggelengkan kepalanya. Jika sudah begini ibu tak mau memaksa Ita. Ibu lalu keluar untuk memanggil Ali keponakan Ita. Seperti biasa, Ibu Ita selalu minta bantuan Ali untuk ke warung jika kurang bahan membuat roti. Rumah mereka bersebelahan jadi tidak kesulitan untuk mencari Ali. Selama ini, Ibu Ita senang mengandalkan Ali untuk belanja ke warung Pak Todi.
“Suruh saja si Ali. Ita malas Bu!” kata Ita kesal.
Sebenarnya yang membuat Ita jengkel pada Ali, karena Ibu dan Ayahnya suka memuji sikap Ali. Meskipun Ali sekelas dengan Ita tapi mereka jarang berangkat bersama.
“Ali, kamu jangan sok baik pada ibuku deh!” kata Ita di ruang kelas yang mulai sepi saat pulang sekolah. Ali yang sedang memberesi buku kaget. Ia tahu jika Ita kemarin kesal padanya.
“A…apanya? Aku tidak sok baik kok. Kenapa? Aku hanya membantu semampuku,” ujar Ali.
“Hee jangan bantah kamu. Kamu mau dianggap baik kan oleh orang tuaku?” cibir Ita.
“Tidak. Ibu dan Bapakku sangat sayang padaku. Kan itu sudah kebiasanku,” sahut Ali bingung. “Tentunya kamu ingin mendapat kue gratis dari Ibuku kan?”Ita semakin ketus. Namun ia mengakui kalau kata-kata Ali benar. Semua keinginan Ali selalu dituruti Ibunya. Ali pun tak menjawab.
“Kamu pasti juga mengharap imbalan untuk tambahan uang jajan kan?” tambah Ita lagi. Muka Ali merah padam. Tapi ia cepat bergegas pulang. Ia pergi tanpa bicara sembari menahan marahnya.
“Ali…. Awas yaa!” Ita berteriak di dalam kelas yang sepi. Mukanya masam, Ia menangis.
Segera ia usap air matanya. Ia bersumpah akan membalas Ali. kemudian bergegas pulang. Sesampainya di rumah ia langsung menuju ke kamar. Ibunya yang berada di dapur tidak tahu jika Ita sudah pulang. Tanpa ganti baju dan makan, Ita langsung tidur.
Sore harinya ayahnya pulang dari kantor. Ita sedang bermain-main di teras.
“Tumben, anak ayah main di rumah?” sapa Ayahnya setelah turun dari motor.
“Tidak… Yah. Malas?!” kata Ita manja.
“Kenapa? Tapi kok cemberut begitu, habis dimarahi bu guru yaa?” lanjut ayah ita.
“Bukan. Gara-gara Ali tuu,” Ita langsung menghampiri Ayahnya.
“Aneh, padahal rumah sebelahan, masih saudara, apalagi juga sekelas. Seharusnya kalian kan bisa bersahabat baik. Bukannya bertengkar begitu” Ayahnya berbicara ramah. Ia tahu jika keduanya selalu bersaing di kelasnya.
“Dia itu suka sok baik sih. Ayah dan Ibu juga sayang padanya. Teman-teman juga lebih suka pada Ali” sahut Ita.
“Semua sayang Ita,” kata ayah, tiba-tiba terdengar suara Ibunya dari dalam rumah.
“Itaaa……tolong belikan beras dan gula nak…” Ibunya memanggil dari dalam rumah. Ita kesal.
“Ini lagi sama Ayah, Bu?! Suruh saja Ali lagi!” ucap Ita membeliak. Ayahnya segera menyahut, “Anak ayah tidak boleh begitu dong, kan cuma sebentar belinya”.
Lalu Ibu datang, ia tahu seperti biasa ia memanggil Ali. Ali pun datang dengan wajah gembira. Kemudian Ibu memberi uang dan berkata padanya,“Tolong belikan beras empat kilo dan gula pasir sekilo. Oiya, kalau begitu berdua sama Ita. Biar bawanya lebih ringan”.
Ita yang mendengar pura-pura acuh. Ia masih marah pada Ali. Ayahnya mengerti, lalu dengan ramah berkata pada Ita, “Yaa, masa tidak kasihan sama Ali. Itu lumayan berat lhoo. Ita bareng berdua sana, sekalian Ayah titip belikan kopi”.
“Ayahhhh…… huhhff” sungut Ita. Ali kemudian berangkat dan Ita dengan langkah malas-malasan menguntit di belakang.
Sepanjang jalan ke warung Pak Todi, Ita hanya diam. Tetapi Ali selalu saja menyapa tetangga yang dijumpainya. Ia sudah terbiasa menyenangkan orang-orang kompleks perumahan. Para tetangga juga hafal sikap ringan tangan Ali. Ita mendengus kesal, menjadi tambah cemberut saja. Ali tahu jika Ita dibelakangnya menggerutu.
“Maaf Ta, atas sikapku kemarin” tiba-tiba Ali membuka suara dengan ringan.
“Maksudnya apa?” Ita ketus menyahut.
“Aku hanya mau menolong saja kok” jawab Ali spontan.
“Alaahh, gak usah pura-pura. Aku tahu jika kamu senang aku dimarahi Ibuku” hampir saja Ita jatuh terpeleset. Namun buru-buru ia bisa jaga keseimbangan tubuhnya.
“Hahaha, makanya hati-hati kalau jalan” Ali tertawa, Ita membeliak hampir saja jatuh.
“Huhh, malah ketawa. Bukannya menolong! Kalau tadi tidak dipaksa Ayahku, aku tidak mau ke warung sama kamu!?” bentak Ita.
“Salahmu sendiri. Memangnya kenapa? Kamu ini kalau disuruh Ibu, bantu sedikit saja tidak mau. Apa belajar terus?” kata Ali.
“Terserah aku. Memangnya kamu, kalau di kelas suka tidur. Kadang sampai ngiler jika tak kepergok Bu guru. Dasar tukang tidur!?” balas Ita mengejek. Ali tertawa kecut. Ita merasa menang dengan ejekan satu itu. Memang terkadang Ali sering tidur sendiri di kelas sewaktu pelajaran. Ketika mulai Ali menguap, badan gendutnya nampak seperti bola. Seisi kelas mulai bisik-bisik, siap-siap terkekeh. Apalagi jika ia tergagap kaget waktu terbangun. Riuh tawa memenuhi ruang kelas tiga itu sampai terdengar di kelas sebelah. Ita cekikikan sendiri.
Sesampai di warung, tampak Pak Todi sibuk melayani pembeli yang kebanyakan dari warga perumahan. Warung itu kecil tapi menyediakan dagangan keperluan sehari-hari. Sehingga warga tak perlu repot-repot belanja ke pasar atau supermarket.
Beras, gula dan kopi mereka terima beserta uang kembalian. Ali menerima kantung plastik rangkap dua berisi beras empat kilogram. Ita membawa kantung plastik berisi gula dan kopi. Mereka berdua berjalan pulang.
Ita melihat Ali kemudian bertanya,”Ali, kok kamu tidak keberatan membawanya? Kan itu cukup berat?”
“Tentu saja tidak. Enteng kalo cuma segini. Sebanyak apapun tetap saja ringan kok,” sahut Ali tersenyum bangga.
“Memangnya menurutmu yang berat itu apa coba?” tanya Ita penasaran.
“Yang jelas lebih berat kamu…..hahaha. Yang berat itu, yaa, saat Ibuku mengandung aku dong! Kata Kakekku, Sembilan bulan lamanya aku tidur dalam perutnya. Terus Ibu juga menggendongku dan tak pernah meletakkannya walau sebentar. Ibu tak pernah mengeluh. Malah selalu terseyum menanti aku lahir,” lanjut Ali polos “masa, sekarang aku mengeluh, kan hanya belanjaan segini? Malu lah sama Ibu?!”
Ita heran mendengar perkataan Ali. Dahinya mengernyit, termenung sesaat. Kini ia tahu mengapa Ali suka membantu Ibunya dan ibu-ibu tetangga lainnya. Ali tidak mengharap imbalan seperti perkiraannya. Ita jadi malu, rasa jengkelnya hilang.
“Aku minta maaf atas ucapanku kemarin,” ucap Ita lirih. Ali menjadi heran.
“Iya, aku sudah memaafkanmu dari kemarin,” sela Ali kemudian “soalnya dulu aku juga malas membantu ibu seperti kamu” ledek Ali sambil tertawa.
“Owwh, masa?” Ita sempat tak percaya.
“Nanti aku ceritakan bila sudah sampai di rumah. Ayah dan Ibumu pasti juga sudah menunggu,” kata Ali kemudian. Ita tersenyum, kemudian ia berniat mau membawa sendiri semua belanjaanya.
“Eh, benar? Tapi ini berat lhoo?” kata Ali
“Tak lebih berat saat ibu sembilan bulan mengandung kita kan?” jawab Ita sembari cekikikan.
“Nih, coba saja” kantung plastik itu diberikan pada Ita. Ia tampak kesulitan membawa semuanya. Ali tertawa,”nah, benar kan? Biar kita bagi dua kan jadi lebih enteng.” ucap Ali. Ita hanya tersenyum, lalu memberikannya ada Ali. Keduanya berjalan bersama sambil tertawa.

Nilai Ulangan Doni

OLEH: Lina Rohani

Doni membawa buku pelajaran ketika bermain. Ketika itu, dia bertemu dengan Angga yang sedang bermain game.
“kau bawa apa, Don?“ tanya Angga sambil sambil bermain game.
“Buku pelajaran.”
“Buat apa?” Angga masih tidak mengerti.
“Buat belajar. Besok kan kita ulangan matematika.”
Doni duduk di samping Angga yang sedang asyik bermain. Dalam hatinya, dia sangat ingin bermain bersama Angga. Tetapi dia harus belajar karena besok dia akan ulangan.
“Kau ingin bermain tidak, Don?“ tanya Angga.
“Ti…tidak, ah! Aku belajar saja.”
“Kalau belajar lebih baik di rumah saja! Di sini kan tempat bermain, Don.“
Angga menyuruh Doni pulang ke rumah. Doni sendiri merasa berat hati karena sebenarnya dia ingin sekali bermain game bersama Angga.
Akhirnya Angga tahu kalau Doni ingin sekali bermain game. Ia pun menawarkan Doni untuk bermain.
“Kau ingin bermain bersamaku, Don?“
“Baiklah.“
Mereka pun asyik bermain game. Sampai tidak terasa hari telah berganti sore. Doni dan Angga pun sudah bermain game selama berjam-jam. Tetapi sepertinya mereka belum puas bermain. Mereka pun tetap melanjutkan.
Tetapi Doni masih ingat perkataan ibunya bahwa dia tidak boleh pulang terlalu sore. Akhirnya dia pun pulang. Dia berjanji akan bermain bersama Angga lagi esok hari.
Sesampainya di rumah, Doni merasa kelelahan. Dia pun tertidur tanpa sempat belajar untuk ulangan esok hari. Ibu Doni yang mengira Doni belajar bersama Angga membiarkan Doni tertidur. Jadilah Doni tidak belajar malam itu.
Keesokan harinya ketika sarapan, Doni berbohong kepada ayah dan ibunya. Doni bilang dia belajar bersama Angga di rumahnya. Ayah dan ibu Doni percaya kepada Doni.
“Kalau begitu, nanti kamu pasti bisa menyelesaikan ulkanganmu dengan baik.“ Ujar Ibu.
Doni hanya mengangguk.
“Kamu pasti akan mendapatkan nilai yang bagus.“ Sambung ayah.
Doni kembali menganggukkan kepalanya. sebenarnya dia merasa bersalah karena telah berbohong.
Ketika berangkat ke sekolah, Doni bertemu dengan Angga di jalan. Angga tidak memakai seragam sekolah seperti dirinya. Doni pun menyapa Angga.
“Kau tidak sekolah?“
“Tidak.“ Jawab Angga enteng.
“Kenapa?“
“Tidak ingin saja.“
Angga mengajak Doni membolos sekolah. Tetapi Doni menolaknya. Dia takut akan ketahuan orang tuanya dan dia akan merasa sangat bersalah. Doni pun memilih pergi ke sekolah.
Ketika sampai di sekolah, Doni melihat teman-temannya sedang sibuk belajar. Dia menjadi malu dengan dirinya sendiri. Jadi, dia membuka buku pelajarannya dan mulai belajar sampai bel berbunyi.
Ibu Guru pun datang ke kelas. Beliau membagikan soal ulangan kepada murid-murid. Setelah selesai berdoa, murid-murid langsung mengerjakan soal ulangan itu.
Doni merasa resah. Dia tidak bisa mengerjakan soal ulangan itu. Doni hanya menunduk menyesali dirinya sendiri yang tidak belajar dan malah bermain.
Keesokan harinya ketika Ibu Guru membagikan nilai ulangan, Doni mendapatkan angka lima. Ia pun semakin menyesal karena telah banyak bermain game.

Gara-Gara Sepeda

Oleh : Hasti Kusuma Dewi

Resti baru saja bisa menaiki sepeda barunya. Seminggu yang lalu Ayahnya membelikannya sebagai hadiah ulang tahun. Betapa bahagianya hati Resti saat itu. Sepeda dengan warna putih dan merah muda pada keranjang depannya. Ada sebuah bel yang merdu dibagian pengemudinya. Akhirnya Dia bisa juga menikmati bersepeda bersama teman-teman sebayanya.
Semenjak dibelikan sepeda baru, Resti terus belajar menaikinya agar lekas mahir dan bisa keliling kampung bersama teman-temannya. Ternyata kegigihannya membuahkan hasil. Cuma butuh waktu seminggu untuk Resti bisa menguasai sepeda tersebut. Setiap pulang sekolah Dia selalu berputar-putar dengan sepedanya. Bahkan sampai lupa makan.
Sore itu, Ibunya sampai harus berlari-lari untuk memanggil Resti agar cepat pulang karena hari sudah petang. Namun, karena saking asyiknya, Resti tidak memperdulikan perintah ibunya. Hampir setiap sore ibunya harus berteriak-teriak memanggil Resti untuk cepat pulang.
Gara-gara sepeda pula, Resti sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan Pak Anwar, gurunya di sekolah. Setiap pulang dari bersepeda, badan Resti rasanya capek sekali.
“ Ah Mama, Resti capek sekali tadi habis keliling kampung, besuk saja resti bangun pagi untuk mengerjakannya,” tolak Resti kala Ibunya menegurnya untuk cepat menyelesaikan tugas rumahnya. Jika sudah seperti itu Resti lantas pergi tidur. Bahkan saat pagi dating, Resti malah panik dan marah-marah karena teringat pada tugasnya yang belum dikerjakan. Dia takut mendapat hukuman dari gurunya. Ibunya yang seringnya mendapat pelampiasan kemarahan darinya.
Benar saja, saat Resti sampai di sekolahan dia mendapat teguran dari Pak Anwar, wali kelasnya. Bahkan sempat dihukum menyapu halaman sekolah sepulang sekolah. Namun, hal tersebut tidak membuatnya jera. Setiap kali melihat sepedanya, tangannya sudah gatal untuk menaikinya.
Sampai pada suatu hari, rumah Resti sedang hujan lebat. Dia tidak bisa kemana-kemana karena ibunya kembali melarangnya. Jangankan hanya bermain sepeda di jalan depan rumahnya, hanya keluar sebentar di halaman pun dia dilarang.
Hal yang lebih membuat kesal Resti, karena tidak ada teman yang bisa diajak untuk bermain sepeda sambil hujan-hujan. Resti terus menunggu. Menunggu sampai hujan reda dan kembali bisa bersenang-senang.
Lama hujan baru reda. Itu pun belum reda sepenuhnya. Karena masih ada rintik-rintik hujan yang masih bersisa. Resti sudah tidak sabar untuk mengayuh sepedanya lagi, akhirnya diam-diam dia mengeluarkan sepeda kecilnya dan meluncur ke jalan. Dia sama sekali tidak pamit pada ibunya karena takut akan dilarang.
Senang sekali rasanya waktu bisa kembali bersepeda. Walau rintik-rintik hujan terus saja mengguyur tubuh Resti yang kecil. Lama-lama bajunya basah karena rintikkan yang terus menitik tersebut. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya.
Setelah lelah, Resti baru pulang. Ibunya hanya diam melihat anaknya yang pulang dalam keadaan basah. Sudah berkali-kali Ibunya memperingatkannya untuk diam di rumah selama hujan namun tidak dituruti.
Resti agak aneh melihat Ibunya yang tidak marah ketika melihannya basah. Padahal biasanya selalu kena maki. Dalam hati dia bersyukur, namun juga merasa terganggu. Kira-kira ada apa dengan ibunya?
“Apa Ibu marah ya? Tapi kan kalau marah tidak mungkin diam saja,” tanyanya dalam hati.
Malamnya, tiba-tiba Resti demam. Asmanya kambuh. Ibu, Ayah dan kakak-kakaknya panik, karena waktu itu sudah sangat malam. Dokter yang buka pun sudah jarang. Tapi, untung saja masih ada dokter praktek yang buka. Di sana Resti diberi banyak obat dan nasehat dari dokter.
“Resti kemarin main air ya? Kok asmanya jadi kambuh begini?” Tanya Dokter Ria. Resti hanya mengangguk. Lalu mengalihkan pandangnnya pada ibunya. Raut muka cemas ibunya sudah hilang. Ibunya sudah bisa tersenyum.
“Iya, Bu. Dari kemarin bersepeda terus tidak mau mendengar kata orang lain,” tambah Ibunya.
“Itu tidak baik… Resti kan tahu kalau punya asma tidak boleh kecapean dan main air, nanti bikin cemas bapak sama ibunya kayak gini lagi lho. Malam-malam harusnya istirahat setelah bekerja untuk sekeluarga malah harus muter-muter cari dokter buat Resti,” kata dokternya halus. Resti hanya diam sambil terus memandang Dokter tersebut.
“Besuk boleh-boleh saja bermain sepeda, tapi jangan sampai lupa waktu ya, kasihan kalau sampai sakit lagi. Ingat juga harus mengerjakan tugas dari sekolah, Resti nggak mau bodoh karena lupa belajar gara-gara bemain kan?” tambah dokternya. Resti hanya mengangguk. Dalam hati dia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dia akan lebih menurut pada kata Ibunya dan tidak akan membuat cemas seluruh keluarganya.

Jangan Malu Bertanya

OLEH: Daniar Ifda F.S


TK Nurul Ikhlas, tempat Dinda bersekolah menyediakan fasilitas antar-jemput. Tapi untuk hari ini, Dinda tidak pulang bersama teman-temannya karena ayah dan bunda menjemput Dinda ke sekolah. Awalnya Dinda sedih karena tidak bisa ikut mengantar teman-temannya pulang. Tapi setelah mengetahui kalau ayah dan bunda akan mengajaknya pergi belanja, Dinda pun bersorak bahagia. Dinda memang menunggu hari ini karena ayah dan bunda sudah berjanjji akan membelikannya boneka Barbie kalau nilai rapornya bagus. Setelah selesai mengganti seragam sekolahnya dengan baju yang dibawakan bunda, mereka pun pergi meninggalkan sekolah.
“Dinda masih mau boneka Barbie?” Tanya bunda setelah mobil mereka sampai ke pusat pembelajaan yang dituju. Dinda mengangguk. “Kalau gitu, Dinda jangan jauh-jauh dari bunda, ya?”
“Ya..” jawab Dinda yang disertai dengan anggukan.
Setelah ayah selesai memarkir mobil, mereka kan pun masuk. Tempat yang pertama kali dituju adalah tempat boneka Barbie. Menurut ayah, lebih baik Dinda dibelikan boneka dulu sebelum ikut bunda belanja kebutuhan rumah. Siapa tau karena sudah mendapatkan boneka Dinda bisa anteng dan tetap bersama bunda. Dinda adalah anak yang aktif. Guru-guru di TK Nurul Ikhlas sempat mengeluh kepada bunda karena sikap Dinda yang tidak bisa duduk tenang dan mengganggu teman-temannya yang belajar. Oleh karena itulah, Dinda jarang diajak pergi belanja kalau bunda hanya pergi sendiri.
“Terima kasih ya ayah.. terima kasih ya bunda” ucap Dinda sambil mencium pipi kedua orang tuanya. Boneka Barbie berambut pink dengan gaun layaknya Putri Duyung berwarna ungu sudah ada dipelukan Dinda. Dinda sangat senang mendapatkan boneka Barbie seperti yang diinginkannya.
“Bunda, nanti Dinda bolehkan ajak mbak Aning main boneka Barbie ini?” Tanya Dinda yang saat ini berjalan di belakang bunda. Biasanya bunda mendudukkan Dinda di troly. Ini bunda lakukan supaya Dinda tidak bisa berlari-lari sesuka hatinya, tapi karena hari ini bunda belanja banyak, jadi Dinda tidak bisa duduk di troly. Tentulah Dinda gembira, mengetahui dirinya tidak perlu duduk di troly yang sempit itu.
“Boleh sayang… tapi sepulang dari sini Dinda bobo siang dulu. Nanti setelah Dinda bangun, bunda anter ke rumah mbak Aning ya?!”
“Tapi Dinda pengen main sama mbak Aning sekarang!!” rengek Dinda sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Mbak Aning juga setelah bobo siang baru dibolehin main sama Bude Lis” bunda terus berusaha memberi pengertian kepada Dinda. Akhirnya, perjanjian itu pun disetujui Dinda, asalkan bundanya mau memberikannya ice crime strawberry kesukaannya.
Saat itu, bunda sedang sibuk memilih lap tangan yang bermotif lucu-lucu. Dinda yang merasa bosan memilih untuk duduk di lantai dan kembali bermain dengan boneka barunya. Tidak berselang lama, datanglah sepasang suami istri bule dengan anak perempuan yang lebih kecil dari Dinda. Melihat boneka Barbie yang dibawa Dinda, anak kecil itu pun merasa tertarik. Tetapi mungkin karena merasa berbeda dengan Dinda (melihat rambut Dinda yang hitam dan rambutnya yang pirang) anak kecil itu hanya memperhatikan Dinda dari balik kaki orang tuanya. Dinda yang menyadari hal itu, mencoba mengajak anak kecil itu bermain. Lalu mereka pun asik bermain ci luk ba.
Setelah mendapatkan apa yang mereka cari, akhirnya sepasang suami istri bule itu pun pergi dari situ beserta anak kecil berambut pirang tersebut. Dinda pun bangun dari tempat duduknya. Tapi ternyata bunda sudah ada di dekatnya. Dinda mencoba mencari di blok sebelahnya, tapi bunda tidak ada di sana. “Dinda tersesat..” kata-kata itu keluar dari bibir mungilnya. Dinda teringat akan cerita yang diceritakan bu guru Lia kemaren. Aku Tidak Takut Tersesat, begitu judul buku itu. Untunglah Dinda masih ingat poin yang diberikan bu guru Lia setelah selesai membacakan cerita itu.
1. Jangan meninggalkan tempatmu karena ayah atau bunda akan lebih mudah menemukanmu.
2. Jangan ikut dengan orang asing.
3. Mencari Pak Satpam.
4. Memeberitahukan identitas.
Mengingat poin yang pertama. Dinda pun kembali ke tempatnya semula sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Tiba-tiba seorang bapak berkumis tebal mendekati Dinda. “Adik kecil kok sendirian, ibunya mana?” Tanya laki-laki berkumis itu. Dinda hanya menggeleng. “Ikut om yuk!! Kita cari ibu bareng-bareng.” Ajak laki-laki itu sembari menyodorkan permen berbentuk kepala Mikey Mouse. “Nggak! Dinda mau nunggu bunda di sini aja.” Tolak Dinda sambil mendekap erat boneka Barbienya. Meskipun sebenarnya Dinda tertarik dengan permen yang disodorkan bapak berkumis itu. Tapi Dinda ingat dengan pesan bunda yang selalu dikatakan bunda setiap kali Dinda hendak berangkat ke sekolah “Dinda, di sekolah jangan nakal ya.. Nurut sama bu guru, baik sama teman. Dan.. jangan menerima pemberian dari orang asing, apalagi sampai pergi sama orang asing.”
“Kalau Dinda ikut sama orang asing, nanti Dinda nggak bisa ketemu bunda lagi. Orang asing itu orang yang tidak Dinda kenal.” gumam Dinda.
Cukup lama Dinda berdiri di situ. Sampai akhirnya, sebuah pintu yang tidak jauh dari Dinda terbuka. Keluarlah seorang laki-laki memakai baju putih dan celana hitam panjang dengan sepatu hitam yang besar, mengingatkan Dinda pada gambar Pak Satpam yang ada di buku cerita. Dinda pun mendekati laki-laki tersebut. “Pak Satpam!” panggil Dinda. Laki-laki yang dipanggil Pak Satpam itu pun menoleh. “Ada apa adik manis..” jawab Pak Satpam yang sekarang sudah berjongkok di depan Dinda. “Nama saya Dinda Pak. Dinda sekolah di TK Nurul Ikhlas kelas B. Dinda ke sini bareng ayah sama bunda. Tapi Dinda nggak tau ayah sama bunda sekarang di mana.” Lalu Dinda pun menceritakan kronologis kejadian yang membuat dia terpisah dengan bundanya. Mengerti dengan maksud cerita Dinda. Pak Satpam itu pun membawa Dinda ke bagian informasi.
Setengah jam berlalu. Belanjaan di troly bunda pun sudah menumpuk. Sebelum ke kasir bunda mampir ke tempat buah-buah. “Dinda mau strawberry?” Tanya bunda sambil membawa sekotak strawberry yang hendak ditunjukkan ke Dinda. Dan betapa terkejutnya bunda ketika menyadari Dinda sudah tidak lagi berada di belakangnya. Bunda pun panik. Tanpa pikir panjang bunda langsung menelpon ayah sambil terus berjalan ke sana ke mari sambil memanggil-manggil nama Dinda. Lima menit kemudian ayah datang. Bersama ayah, bunda mencari Dinda ke tempat yang sekiranya Dinda datangi. Dicari di tempat mainan Dinda tidak ada, di tempat makanan Dinda juga tidak ada. Bunda semakin panik. Bunda pun menangis.
“Bagi bapak Surya Adi Putra dan ibu Riana Ambarwati ditunggu anaknya di ruang informasi.”
“Bunda, itu pasti Dinda.” Kata ayah.
“Sekali lagi. Bagi bapak Surya Adi Putra dan ibu Riana Ambarwati ditunggu anaknya di ruang informasi.”
Dengan langkah tergesa-gesa, sepasang suami istri itu pun berjalan menuju ruang informasi. Sesampainya di sana, ditemukannya Dinda yang sedang asik mengobrol dengan Pak Satpam. Bunda mendekap Dinda erat. Dengan ceriwisnya Dinda menceritakan pengalamannya hari ini kepada orang tuanya.
“Dinda, anak yang pintar.” Kata Pak Satpam setelah Dinda selesai bercerita. Ayah membelai rambut Dinda bangga.








Di awal pagi, 21 April 2010

Piala Kejuaraan Sepakbola

OLEH: Ani Setyawati

Udara pagi ini terasa begitu segar. Embun membasahi rumput-rumput. Suasana pagi ini begitu menyenangkan sekali. Langitpun tampak cerah. Bunga-bunga tampak mekar indah dan pohon nyiur melambai-lambai.
Pagi ini Vino akan mengikuti pertandingan sepakbola. Pukul 06.30 WIBVino sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa Vino untuk berpamitan dengan ayahnya. Vino mencium tangan ayah. Ayah Vino berpesan, “Ayah yakin sekali kalau Vino pasti bisa bertanding dengan baik. Maka dari itu tunjukkan pada orang-orang bahwa Vino dan tim sepakbola Vino bisa membawa piala juara 1 hari ini.” Kata Ayah dengan penuh semangat. Ibu Vino ikut menonton pertandingan sepakbola. Wali murid dibolehkan untuk ikut menyaksikan. Sehingga Vino berangkat bersama ibunya. Ayahnya tidak ikut karena harus berangkat ke kantor.
Vino dan ibunya segera berangkat menuju sekolahnya yaitu SD Negeri 2 Depok. Semua siswa, wali murid, dan guru berkumpul di sekolah dulu. Setelah semuanya kumpul barulah berangkat ke lapangan sepakbola yang terletak di Kabupaten Depok. Sekitar 30 menit naik bus dari SD N 2 Depok.
Rombongan dari SD N 2 Depok akhirnya tiba. Sesaat kemudian suasana jalan menuju lapangan sepakbola semakin gemuruh karena suara bising kendaraan dan keramaian anak-anak SD untuk menyaksikan babak final pertandingan sepakbola antar SD tingkat Kabupaten tahun ini.
Vino sangat menginginkan sekolahnya yang menjadi juara 1 tahun ini. Pertandingan sepakbola ini diadakan setiap dua tahun sekali. Namun, sekolah Vino belum pernah mendapatkan juara 1. Dua tahun lalu sekolahnya mendapat juara 2. Saat itu skornya adalah 2-1. Jika sudah memasuki babak final memang sangat sulit untuk mengalahkan lawan.
Hari ini, Vino dan tim sepakbola dari sekolahnya akan melawan SD Negeri 1 Depok. Sekolah yang sering mendapat juara I dalam pertandingan sepakbola. Sekolah Vino, SD Negeri 2 Depok, kali ini harus bisa pulang dengan membawa piala kejuaraan.
Pertandingan akan segera dimulai. Semua pemain harus menuju ke tengah lapangan. Tim dari SD N 1 Depok tampak sedang bergerombol dan diberi pengarahan oleh pelatih.
Tim dari sekolah Vino juga sudah siap untuk beradu dengan SD N 2 Depok. Ketika Vino akan memakai sepatu sepakbolanya, ibunya berkata.
“Vino… kamu suka sepatu itu?” Tanya Ibu sambil menunjuk pada sepatu yang dipakai oleh Vino.
“Vino suka sekali, Bu. Sepatu ini sangat bagus. Pasti harganya mahal ya?”
“Sepatu itu untuk anak Ibu yang paliiing ganteng…”
“Ah, Ibu…” kata Vino dengan malu-malu.
Ibu Vino memang selalu begitu. Beliau selalu memberikan yang terbaik untuk Vino. Ayah dan Ibunya selalu mendidik Vino agar ia tumbuh menjadi akan yang cerdas dan mandiri. Walaupun Vino adalah anak tunggal tapi ia tidak pernah dimanja. Ayah dan ibunya akan memberikan apa pun yang diminta Vino jika ia mendapat nilai bagus atau telah membuat ayah dan ibunya bangga.
“Sayang, kamu siap kan melawan SD Negeri 1 Depok?” kata Ibu sambil mengelus rambut Vino.
“Vino siap, Bu!” Jawab Vino dengan tegas.
“Bagus!” kata Ibu dengan mengacungkan kedua jempolnya.
“Ibu doakan tim Vino ya, supaya bisa menjadi juara tahun ini.”
“Iya sayang. Ibu pasti mendoakan tim kamu agar menang.”
“Sudah… Sana kembali ke lapangan. Pertandingan akan segera dimulai.”
“Vino ke lapangan ya, Bu.”
Vino pamit dan mencium tangan Ibunya. Vino berlari menuju lapangan.
Ibu selalu memberikan semangat dan dukungan untuk Vino dalam hal apapun. Vino tidak mau mengecewakan Ibu. Vino harus berusaha dengan penuh keyakinan bahwa hari ini timnya bisa membawa nama baik sekolah dengan memenangkan pertandingan sepakbola.
Akhirnya pertandingan pun dimulai. SD Negeri 1 Depok melawan SD Negeri 2 Depok. Vino menjadi penyerang. Permainannya sangat bagus saat Vino menggiring bola.
Sampai saat ini kedudukan masih 0-0. Pertandingan semakin ramai pada menit-menit terakhir ketika akan dilakukan tendangan pinalti. Beberapa kali dari tim SD N 1 Depok tidak bisa memasukkan bola ke dalam gawang. Kini tiba giliran Vino untuk menendang bola. Semua orang bersorak-sorai menyebut nama Vino.
“Vino…Vino…Vino…” teriak para pendukung dari SD Negeri 2 Depok.
Vino siap-siap akan menendang bola. Wasit meniup peluit pertanda Vino harus segera menendang bolanya.
“Priiiiiiiiit…”
Semua orang terdiam menyaksikan tendangan Vino. Bola yang ditendang Vino akhirnya masuk ke gawang. Para siswa, guru, dan wali murid dari SD N 2 Depok bersorak sorai dengan gembira. Tahun ini, SD Negeri 2 Depok pulang dengan membawa piala kejuaraan sepakbola. Piala yang selama ini diimpikan oleh seluruh siswa SD Negeri 2 Depok sebagai juara I sepakbola antar SD tingkat kabupaten Depok.

Merayakan Ulang Tahun Bersama Teman

OLEH: Syin Azizah

Hati Zahra sangat sedih sekali ketika melihat tayangan di televisi ada sebuah pesta perayaan ulang tahun yang dilaksanakan sangat sederhana tapi begitu meriah karena banyak yang menghadiri acara tersebut terutama orang tua, teman-teman, dan saudara. Bungkusan kado yang begitu banyak berada di meja. Kue ulang tahun warna-warni dengan hiasan boneka dan bunga yang lucu-lucu. Zahra jadi teringat dengan kejadian pada minggu lalu, ketika acara ulang tahunnya gagal dirayakan karena orang tuanya ada kepentingan pergi ke luar kota untuk urusan kerjaan. Orang tua Zahra sangat sibuk bekerja, Mamanya bekerja sebagai pengajar di perguruan tinggi dan Papanya bekerja sebagai direktur utama sebuah perusahaan. Zahra hanya tinggal bersama pembantu dirumahnya. Pada liburan akhir pekan saja mereka bisa berkumpul bersama itu juga kalau orang tuanya tidak ada acara mendadak yang mengganggu liburan mereka.
Keesokkan harinya, “Ma…kapan ulang tahun Zahra dirayakan? Kan tepat hari ulang tahun kemarin ulang tahun Zahra tidak jadi dilaksanakan” kata Zahra memelas.
“Sayang….minggu-minggu ini Mama tidak bisa melaksanakan acara ulang tahun kamu, Mama masih banyak kerjaan”, kata sang Mama.
Sebenarnya Mama tidak tega memperlakukan Zahra seperti itu. Karena Zahra hanya seorang anak berumur 10 tahun yang masih memerlukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Papa hanya terdiam karena merasa bersalah juga kepada Zahra.
Dalam hati Papa berbicara, “Merayakan ulang tahun untuk anak semata wayang saja, aku tidak bisa bagaimana anakku bisa mendapatkan kasih sayang dan dekat dengan Papanya”.
“Teman-teman banyak yang menanyakan kapan ulang tahun Zahra dirayakan? Zahra pengen liburan minggu ini acara ulang tahun Zahra dirayakan! Zahra tidak mau tahu!,” teriak Zahra sambil berlari membawa bonekanya.
Papa dan Mamanya hanya bisa terdiam dan tak banyak bicara.
“Pa, apa salahnya kalau liburan minggu ini kita mengadakan liburan bersama dengan Zahra, entah itu jalan-jalan atau merayakan ulang tahun Zahra,” kata Mama.
“Ehmmm…….baiklah akan aku usahakan, tapi kayaknya liburan besok aku tidak ada acara apa-apa di kantorku. Baiklah nanti malam kita bicarakan lagi pada Zahra sebelum dia tidur,” kata Papa.
Malam harinya sebelum Zahra tertidur, Papa dan Mama masuk ke kamar Zahra. Tapi setelah orang tuanya masuk ke kamar Zahra, ternyata Zahra sudah tertidur nyenyak sekali. Mama dan Papanya hanya memberikan kecupan sayang di keningnya dan menyelimuti Zahra. Betapa senangmya mereka melihat Zahra yang sedang tertidur pulas karena mereka melihat sosok anak mereka yang begitu polos dan lucu. Mereka juga teringat bahwa dalam masa pertumbuhannya Zahra masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua. Mereka jadi merasa bersalah kepada Zahra dan mulai saat itu mereka berjanji akan memenuhi semua apa yang diinginkan Zahra.
Keesokan paginya setelah selesai sarapan pagi sebelum Zahra berangkat sekolah.
“Sayang, Papa dan Mama mau bicara…Zahra mau ulang tahunnya dirayakan? Papa dan Mama sudah memutuskan bahwa acara ulang tahunmu dirayakan hari minggu besok bagaimana?” kata Mama.
“Hari minggu besok Ma?! Wah..senangnya! Tapi besok undang teman-teman sekolah Zahra ya Ma?! Yang banyak!,” seru Zahra dengan melonjak-lonjak gembira.
“Sayang, sekarangkan hari sabtu nanti sehabis pulang sekolah ikut jalan-jalan dengan Mama yuk? Kita belanja perlengkapan buat acara ulang tahunmu besok,” kata Mama.
“Ok Ma! Terima kasih Pa! Terima kasih Ma!,” kata Zahra sambil berlari.
Zahra langsung mencium pipi kedua orang tuanya sebagai tanda sayang dan terima kasih Zahra pada orang tuanya sebelum berangkat ke sekolah.
Sesampai di sekolah Zahra langsung memberi tahu teman-temannya kalau acara ulang tahunnya jadi dirayakan pada hari minggu besok.
Zahra berkata “Teman-teman jangan lupa besok datang ke acara ulang tahunku ya!. Jam 8 pagi kalian harus datang, jangan lupa bawa kado yang banyak!” dengan perasaan hati senang dan senyum merekah dari wajah Zahra.
Tetapi setelah Zahra memberitahu teman-temannya ternyata salah satu teman Zahra ada juga yang merayakan ulang tahun pada hari minggu besok yaitu Dinda.
Dinda dengan nada agak marah,”Zahra!Teman-teman udah aku ajak ke pesta ulang tahunku, jadi kamu enggak boleh ngundang temen-temen ke pasta ulang tahunmu!!”.
”Enggak boleh!!Temen-temen harus datang ke pesta ulang tahunku! Temen-temen harus pilih mau datang ke pestanya siapa??!, kata Zahra dengan marahnya.
“Enggak boleh Zahra!!!!, kata Dinda.
“Enggak boleh!!.
Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Anak-anak sudah bersiap-siap untuk pulang. Hanya Dinda dan Zahra yang belum bersiap-siap untuk pulang. Mereka masih bertengkar hebat sampai-sampai kedua orang tua mereka mencari-cari sampai ke kelas.
“Sayang….ada apa ini? Kamu kenapa kayak gitu??,” kata mama Zahra.
“Ini Ma,, Dinda enggak mau ngalah karena pesta ulang tahunnya sama dirayain besok! Temen-temen dah Zahra kasih tahu untuk datang ke pesta ulang tahunku tapi Dindanya tu….!!” kata Zahra dengan marahnya.
“Sudah-sudah dong sayang…Maaf ya Bu anak saya ini kelewat manja. Maafkan Zahra juga ya Dinda,” kata Mama sambil menenangkan Zahra.
“Zahra harus minta maaf juga dong tante sama Dinda,” dengan nada ketusnya.
“Tapi kan Ma….Zahra mau temen-temen semuanya datang ke pesta ulang tahun Zahra,” kata Zahra.
Mama Zahra terdiam berfikir sejenak karena Zahra kalau sudah begini susah ditenangin.
“Ehmmmm….Zahra dan Dinda mau enggak ulang tahunnya dirayain bareng di sebuah tempat misalnya di KFC di dekat rumahnya Zahra, gimana?” kata mama Zahra dengan tenang.
Zahra dan Dinda hanya terdiam. Mereka tidak bisa berkata apa-apa.
“Dinda kamu mau tidak??,” kata Zahra.
“Ehmmm….baiklah Tante, Dinda mau ngerayain ulang tahun bareng Zahra,”kata Dinda dengan senyum gembira.
Akhirnya pada hari minggu Zahra dan Dinda merayakan ulang tahun bersama di KFC. Semua teman-temannya datang dan membawa banyak kado. Mereka terlihat gembira sekali karena pesta ulang tahunnya sangat meriah.

Pada Sebuah Sayur...

OLEH: Fitri Kurniasari

Acara makan dirasakan Via merupakan rutinitas yang paling menyebalkan. Bagaimana tidak? Setiap pagi, siang dan sore, Via harus berlari-larian dan dengan terpaksa menagtupkan mututnya untuk menguyah makanan yang dijejalkan dengan lembut oleh ibunya. Ibunya yang selalu setia menyuapinya itu tetap dirasakan Via adalah penyiksaan baginya.
Seperti siang itu Via kembali kena tegur mamanya. Sudah susah-susah memasak anjuran kesehatan yakni empat sehat lima sempurna, namun hanya tiga macam yang berada yang piring Via, satunya yang pasti susu tercecer di sebelah meja. Berarti ada yang kurang dalam piring mungil Via yang lebih kecil dari anggoa keluarga lainnya, yakni sayur. Sebagai putri terkecil yang baru menapaki kelas 1 SD, Via masih kekanak-kanakan. Piring bergambar Mickey mouse menghiasai piring mungilnya.
Mamanya mengerti betul akan pentingnya kesehatan. Untuk itu disetap menu, selalu menyiadakan anjuran kesehatan yang terdiri dari nasi, lauk, sayur , buah dan susu. Lengap tapi tak harus mahal. Namun Via belum bisa mencerna arti penting kesehatan.
Hingga akhirnya suatu siang...
Sepulang sekolah, V terlihat cemberut. Dengan kasar, menyentakkan sepatu dan melempar asal ke rak nya. Braak..!!suara gaduh membuat ibu yang tengah memasak di dapur terusik. Dengan segera, ibu menghampiri putri semata wayangnya itu.
“Anak ibu sudah pulang?”sapanya sembari mengelus poni Via mesra.
Bukannya menjawab, Via malah memalingkan muka. Tak terhenti disana, dengan otomatis, bibir mungilmya manyun beberapa centi ke arah depan. Ibu yang mengerti perangai Via sehari-hari segera paham, V kecilnya tengah marah. “V” adalah panggilan sayang untuk Via.
“Ada apa sayang?”sapa ibu V lembut.
“V ga bisa main jungkat jungkit”, jawabnya ketus.
“Kenapa?”
“V selau kalah, jadi V selalu diatas dan temen-temen gak ada yang mau main sama V lagi.”
“Selalu di atas? Itu karena badan kamu kecil, jadi beratmu ringan. Coba V mau makan sayur, nanti pasti berat V bertambah dan bisa mengimbangi temen-temen V main jungkat-jongkit. Coba sekarang V suka makan sayur, pasti brat badan V akan naik dengan cepat. Kalo V gemuk nanti bisa main ayunan.,” ujar mama V lembut.
Sekali dua kali, V masiih ogah. Namun dengan telaten mamanya meberi dorongan agar v mau mencoba menelan beraneka sayur. Terdorong oleh keinginan untuk dapat bermain dengan teman sebayanya, V pun mulai mencoba. Mulaii saat itu, V makan dengan lahap. Karena ketelatenan dari ibunya dan usaha v sendiri menbuahkan hasil. Beberapa bula kemuidan , badan V menjadi agak gemuk. Dan setelah ditimbang, v memang bertambah gemuk dan mmenuhinangka kecukupan gizi.
Via berkaca. Ia memang lebih gemuk dibanding teman-temannya kini. Sekarang ia dapat main dengan teman-temannya. V senang sekali.
Sekarang V tahu. Sayur baik untuk kesehatannya dan V juga mengerti bahwa ia dapat bermain karena berat tubuhnya yang rata-rata dengan temannya. Sekarang ia mengerti, untuk pertumbuhan dibutuhkan sayur.
Mulai saat itu, V sadar bahwa sayur yang mamanya selalu kaatakan adalah benar-benar bauk untuk kesehatannya. Sekarang, tanpa disuruh pun, V selalu memintanya kepada mamanya. V senang karena akhirnya dapat bermain dengan teman-temannya.

Bersih Itu Pangkal Sehat…

OLEH: Azwar Anas

“Hore, besok libur,” teriak Agis kegirangan kepada ibunya. Agis adalah siswa kelas 6 SD di desa Kauman. Kebetulan besok adalah hari Sabtu dan bertanggal merah. Jadi kesmpatan libur lumayan panjang. “Iya, terus Agis punya agenda apa besok dan lusa?” Tanya Ibu penasaran karena melihat putra semata wayangnya kegirangan. “Agis mau main Bu, seharian. Biar hari Senin bisa ujian dengan tenang,” jawab Agis sambil mencopot sepatu.
Siang itu Agis memang terlihat sibuk menyiapkan peralatan-peralatan untuk main besok. “Memangnya Agis mau main apa besok,?” Tanya ibu tiba-tiba. “Agis mau main bola, terus mancing sama temen-temen dan habis itu mau main kelereng,” jawabnya sambil membenarkan alat-alat pancing. “Kalau lusa, Agis mau kemana?” Tanya ibu lagi. “Emm belum tahu Bu, pokoknya mau main seharian juga. Memangnya ada apa Bu?” Agis balik bertanya kepada ibu.
Ibu tidak langsung menjawab, ia berjalan menuju ke dapur dan mengambilkan Agis minuman. “Tidak apa-apa Agis, rencananya Ibu itu mau mengajak Agis untuk bersih-bersih,” jawab ibu. “Nggak mau Bu, kan Agis mau main,” tolak Agis memanja.
“Iya Agis, tapi kita kan sudah lama nggak bersih-bersih. Gudang, halaman, bahkan kamar Agis sudah pada kotor dan berantakan. Hayo, memang Agis nggak takut sakit?” jelas Ibu dengan bijak. Akan tetapi, Agis masih tak mau mengerti dengan ajakan Ibu, ia masih saja bersikeras ingin main di hari liburnya itu.
Hari mulai berganti malam, agis tampak sudah tidak sabar untuk segera pagi. Malam itu agis tidur lebih awal. Ia masuk kamar untuk tidur agar besok bisa main lebih pagi. Terlihat Ibu juga masuk ke kamar Agis. Ibu membelai kepala Agis dan mengingatkan untuk berdo’a. sesekali ibu, mengamat dalam ruamgan kamar Agis yang berantakan. Bukannya ibu tak mau membersihkan tapi ibu ingin agar Agis lebih mandiri dan mau membersihkan kamarnya sendiri.
“Agis, besok kalau ada waktu kamarnya dibersihkan ya,” pesan ibu kepada Agis. “Kan capek Bu, kenapa nggak ibu saja,” jawab Agis sambil memeluk guling. Ibu memilih untuk tidak berkomentar malam itu, sebelum keluar ia mengecup kening Agis lalu mematikan lampu dan menutup pintu kamar Agis. “selamat malam sayang, mimpi indah ya,” ujar ibu.
Tidak lama kemudian Agis pun tertidur lelap di antara barang dan debu-debu yang berserakan di kamarnya. Sudah hampir satu minggu Agis tak merapikan dan membersihkan kamarnya. Ia lebih suka bermain dengan teman-temannya. Ibu sudah berkali-kali mengingatkannya tapi Agis masih juga tidak melaksanakan perintah Ibu, padahal ia selalu menjawab “Iya Bu nanti sepulang sekolah.”
Tiba-tiba di pagi harinya saat Agis terbangun, ia memghampiri ibunya yang sedang menyiapkan sarapan. Dengan wajah yang agak takut agis berkata pada ibunya, “Ibu hari ini Agis mau bersih-bersih,” ujarnya. Ibu keheranan lalu menghampiri Agis, “Lhoh katanya kemarin nggak mau karena hari ini Agis mau main seharian,” tanya Ibu keheranan.
Agis duduk di depan ibu kemudian ia meminta maaf. Agis menangis, ia menyadari bahwa sikapnya kemarin adalah salah. “Ibu, maafkan Agis,” ujarnya meminta maaf. Si ibu mulai faham dengan tindak tanduk yang dilakukan anaknya. “Iya Agis, tapi jangan diulangi lagi ya,” Balas ibunya ramah. Agis merasa mulai tenang, ia menceritakan segala apa yang terjadi semalam. “Ibu, agis mimpi bahwa Agis terserang penyakit kulit yang sangat parah hingga tidak bisa bermain dan sekolah,” ceritanya.
Ibu hanya tersenyum tipis, dan sesekali memeluk putranya itu. “Ibu benar, kalau kotor itu memang bisa menyebabkan penyakit,” tambah Agis. Dalam mimpinya itu, Agis terserang penyakit kulit karena debu-debu yang ada di kamarnya itu tiba-tiba hidup dan menempel pada tubuhnya. Awalnya hanya gatal-gatal biasa lalu membengkak dan parahnya dalam mimpinya kulitnya sampai mau terlepas.
Lagi-lagi Agis minta dipeluk ibu jika ingat mimpinya itu. Ibu mendekapnya lalu menasihatinya, “Agis, mimpi itu adalah bunga tidur yang tidak mugkin terjadi du dunia nyata. Tapi ibu bersyukur akhirnya Agis sadar dan mau menjaga kebersihan.” Akhirnya setelah sarapan Agis dan ibu mulai memebrsihkan seluruh ruangan dalam rumah hingga pada halaman dan gudang.

From zero to HERO

OLEH: Aan Diang F. Aji

Di suatu desa kecil yang kumuh hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Ibu dan 4 anak, sang kepala rumah tangga, ayah, meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit keras. Keluarga tersebut sebenarnya cukup terpandang ketika ayah masih memiliki usaha pertokoan, tapi semuanya berantakan dan hilang akibat salah satu staf ayah, akhirnya mengalami kebangkrutan dan banyak hutang untuk menutupi kerugian ayah menjual rumah satu-satunya itu.
Kematian ayah membuat sedih ibu dan anak-anak yang ditinggalkan. Tapi ibu menanamkan semangat untuk terus maju manjalani hidup kepada anak-anaknya. Anak pertama bernama Yoga berumur 11 tahun, Roni 9 tahun, Rico 7 tahun, dan Luna 5 tahun. Ibu bekerja keras disebuah pabrik untuk memenuhi kebutuhan keluarga, gaji yang diterima Ibu tidak terlalu besar kadang kurang untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Yoga, sebagai anak pertama pun ikut membantu Ibu mencari uang.
Setiap pagi, Yoga selalu mengantar koran berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, tak hanya itu pulang sekolah pun Yoga menyempatkan untuk bantu-bantu di kedai makan milik tetangganya. Keseharian Yoga dilalui dengan berat tapi dia tetap tegar menghadapinya. Di sekolah Yoga kurang begitu pandai karena kesempatan belajar yang kurang akibat jarang belajar, tapi Yoga sangat piawai dalam hal olahraga, sepak bola, disekolahnya Yoga banyak mendapatkan gelar juara daerah dan beasiswa, oleh karena itu adik-adiknya bisa sekolah ditempat Yoga sekolah juga tanpa membayar uang tahunan.
Yoga selalu berlatih sepak bola dengan keras utnuk mempersiapkan diri menuju kejuaraan nasional. Sekolah nya bergantung pada nya untuk memenangkan gelar Juara Nasional yang belum pernah dia dapatkan.
“malam semunya” sapa Yoga pada Ibu dan ketiga adiknya
“malam” jawab mereka bersahutan
“kakak bawa makanan dari kedai paman, cepat dimakan yaa” sahut Yoga
“Yoga apa yang sedangkamu pikirkan?” tanya Ibu melihat Yoga termenung
“Kejuaraan Nasional segera dimulai, Bu.” Jawab Yoga sopan
“ooo iya sudah, yang penting jangan lupa istirahat” kata Ibu
Kejuaraan Nasional yang diikuti oleh 24 juara-juara daerah dimulai. Banyak tim hebat yang hadir dan pemain-pemain hebat bermunculan. Teriak kemenangan dan duka menyelimuti suasana akhir pertandingan, banyak tim yang gugur karena hanya akan ada satu juara, juara di partai pamungkas, JUARA NASIONAL.
Sekolah Yoga memulai pertandingan semifinal, setelah melewati pertandingan kualifikasi yang cukup ketat, akhirnya dimulai. Sorak sorai penonton bergemuruh ketika peluit pertama ditiupkan.
“Ayo Yoga cetak GOOOOOLLLL sebanyak-banyaknya” kata paman, yang sengaja menutup kedai makannya untuk melihat pertandingaan Yoga.
Pertandingan sangat seru, kedua tim saling serang untuk meraih jatah satu tiket final. Peluit akhir pertandingan 2x45 menit ditiup panjang dengan kedudukan 1-0. Sekolah Yoga berhak melaju ke partai puncak.
“pertandingan yang bagus, selamat ya Yoga, tim sekolah mu berhasil melaju final” sapa salah satu penonton
“iya, terima kasih, bapak siapa?” tanya Yoga
“saya adalah pemandu dan pencari bakat, Mr. Marwan” jawab bapak itu
“kami harap Yoga bisa bergabung dengan sekolah kami”
“O’ iya pak terima kasih tawaran nya, saya akan pertimbangkan dengan Ibu” kata Yoga
Setelah selesai latihan untuk menyiapkan partai final. Yoga terlihat agak lesu memikirkan tawaran dari Mr. Marwan.
“kenapa Yog, kok lesu?” tanya Ibu
“ada tawaran dari pemandu bakat, bu” jawab Yoga
“Waaa bagus itu, terima saja kalo itu baik untuk kamu” kata Ibu
“beneran bu? Maksih yaaa” sahut Yoga
Partai puncak segera dilmulai, diawali dengan parade sebelum pertandingan menambah semarak dan kualitas partai tersebut. Kedua tim berjabat tangan. Dan pertandingan dimulai. Yoga dan teman-temannya saling bekerjasama untuk membobol gawang lawan, terus menyerang membuat gawang tim Yoga malah kebobolan.
“GGGOOOOOOOOLLLLLL” untuk kesebelasan musuh Yoga
Semangat Yoga semakin terbakar untuk membalas gol yang dicetak tim lawan. Terus menyerang adalah jalan satu-satu nya, karena waktu hamper habis menyisakan 5menit waktu berakhir. Lewat serangan balik yang cepat Yoga berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan
“GOOOLLL….GOOOLLLL” untuk kesebelasan Yoga
2 menit sebelum peluit berakhir tim Yoga mendapat sepakan pojok, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, bahkan kiper Yoga juga ikut membantu penyerangan. Semua pemain berkumpul didepan gawang. Bola melambung tinggi semua pemain berebut bola didepan gawang. Bola liar dan berhenti di kaki Yoga, dia menendang bola sekencang-kencangnya.
“GGGGGGGOOOOOLLLLLL”
“GOOOOLLL….GOOOOLLLL” untuk kesebelasan Yoga
Peluit panjang ditiup “PPPPPRRRRRIIIIITTTT……..” tim Yoga memenangkan kejuaraan Nasional. Selesai pertandingan Mr. Marwan kembali menemui Yoga.
“selamat Yoga tim mu meraih juara Nasional, bagaiman tawaran kami?” kata Mr. Marwan
“iya pak, saya menerima tawaran tim bapak” jawab Yoga
“baiklah Yoga, saya akan mempersiapkan semuanya untuk mu” sahut Mr. Marwan
Setelah lama tak menikmati gelar Nasional, akhirnya dengan kerja keras dan semangat tinggi tim Yoga berhasil mengangkat trofi juara Nasional. Beserta Ibu dan adik-adiknya Yoga pindah ke kota, mendapat sekolah yang berkualitas untuk menunjang karier bolanya dan memberikan kehidupan sekolah yang layak untuk adik-adiknya dari tunjangan yang diberikan tim sekolah Yoga yang baru.

Maria Berdamai Dengan Sayur

OLEH: Latif Pungkasniar

Maria adalah anak yang periang, tubuhnya mungil dengan wajah yang manis. Maria kini masih duduk dikelas 3 SD. Karena dibesarkan dengan penuh kasih sayang maka Maria tumbuh menjadi gadis kecil yang berhati lembut. Karena periang dan berhati lembut maria disukai banyak orang dan mempunyai banyak teman.
Akan tetapi seperti kebanyakan anak-anak lainnya, Maria tidak begitu suka makan sayuran. Hobi maria hanya memakan mie instan dan makanan kecil buatan ibunya. Sudah berkali-kali Ibunya menasihatinya agar makan banyak sayur agar badannya sehat dan kuat. Akan tetapi Maria tetap saja tidak suka makan sayur. Untung Ibu Maria orang yang cerdas sehingga dia tetap menyusupkan sayuran kedalam makanan kecil yang dibuatnya. Akan tetapi jika Maria mengetahui hal itu maka dia akan segera ngambek.
“Puih… ada rasa aneh di risoles buatan Ibu,” Sambil mengeluarkan makanan yang dikunyah, Maria berkata pada Ibunya.
“Ada apa, Sayang?” Ibu Maria datang menghampiri anaknya.
“Risoles ibu ada rasa yang tidak enak. Pasti sayur!” Maria mengerutu.
“Itu wortel Nak,” ucap Ibu
“Wortel juga sayur kan bu?” Maria bertanya kepada Ibunya.
“Iya Nak, tetapi sayur itu baik buat tubuhmu, membuat sehat dan kuat,” beliau menjawab dengan tersenyum. Dan Maria kembali ngambek.
Kejadian seperti itu terulang dan terus berulang. Maria tetap tidak suka dengan sayur dan ibunya tetap berusaha membuat pengertian dan sesekali menyusupkan sayuran-sayuran kecil dalam makanan kecil yang dibuatkannya untuk Maria.
###
Suatu siang, Maria menonton acara televisi bersama ibunya. Pada kanan atas ada sebuah label BO atau bimbingan orangtua. Maka Ibu Maria mendampingi anaknya menonton acara tersebut.
Tayangan televisi kali itu adalah kisah seorang anak kecil yang bernama Hasti yang membantu orangtuanya bekerja di ladang wortel. Anak kecil itu bercerita dia membantu kedua orangtuanya di ladang untuk membayar biaya sekolahnya. Tidak hanya bekerja membantu merawat tanaman wortel, akan tetapi dalam tayangan itu Hasti juga ikut membantu menjual wortel itu di pinggiran jalan. Dan mungkin bukan nasib yang baik untuk Hasti karena sampai sore, tak ada satupun wortel yang terjual.
Maria memerhatikan tayangan tersebut dengan seksama, sedangkan Ibunya berdiam diri disebelah Maria, sambil sesekali memperhatikan wajah anaknya yang dengan serius memperhatikan tayangan televise tersebut.
“Kasian Hasti ya bu...” ucap maria tiba-tiba.
“Memangnya kenapa Nak?” Ibunya membalas bertanya.
“Wortelnya tidak laku,” ucap Maria lagi.
“Yaaa… kan banyak anak kecil yang zaman sekarang tidak suka makan wortel,” Ibu Maria menjawab dengan tersenyum.
“Seperti Maria ya bu?” maria bertanya, seperti bersalah.
“Siapa yang bilang? Mulai sekarang Maria kan suka makan wortel?” ucap ibu sambil mengelus rambut anaknya.
“Biar Hasti bisa sekolah ya bu?”
“Iya, biar hasti bisa sekolah.”
Mulai saat itu Maria mulai senang makan wortel awalnya dia tidak terbiasa akan tetapi lama kelamaan Maria mulai mengemari wortel. Akan tetapi hanya wortel. Sampai suatu siang Maria ditanya oleh Ibunya.
“Kenapa Maria hanya makan wortel? Tidak dengan sayuran yang lain?”
“Kan Hasti biar bisa sekolah bu,” jawab Maria lugu.
Tidak kekurangan akal ibupun menimpali “Lalu bagai mana dengan Azwar yang menanam bayam, Anna yang bertani kubis, Anin yang menjual lombok, Ismi yang menanam kangkung? Kan mereka semua juga menanam sayuran untuk sekolah Nak?”
“Ada anak-anak yang lain juga ternyata ya Bu?” Tanya Maria lugu.
“Iya…”
“Berarti aku mau makan sayur agar teman-temanku yang menanam sayuran bisa bersekolah sepertiku.” Ucap Maria mantap.
Dan mulai saat itu Maria gemar memakan sayur.

Mama Ica Minta Maaf ! ! !

OLEH: Firda Mustikawati
Kukuruyuuuuuuuuuuuuk petok….petok…!!! Suara ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Ica segera bangun kemudian merapikan tempat tidurnya. Setelah merapikan tempat tidurnya, Ica mengambil handuk kemudian menuju ke kamar mandi untuk mandi.
“ Ica………”, teriak Mama dari dapur.
“ Iya Ma…. Ica masih mandi nih”, jawab Ica dengan suara manjanya.
Mama yang sudah bangun lebih pagi dari Ica sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk Ica dan Papa. Tiba-tiba Ica yang sudah rapi dengan seragam putih merahnya muncul dihadapan mama.
“ Wah, anak Mama sudah rapi ternyata. Ayo sarapan dulu biar nanti di sekolah nggak lemes”, perintah Mama kepada Ica.
Ica segera menuju ke ruang makan. Di ruang makan, sudah ada Papa yang juga tidak kalah rapi dengan Ica. Waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB, Ica berangkat bersama Papa karena sekolah Ica dekat dengan kantor Papa.
“ Assalamualaikum, Ica berangkat ya Ma”., pamit Ica kepada Mama.
“ Wa’alaikumsalam...”, jawab Mama.
Setiba di sekolah, sudah banyak anak yang datang di SD YPWKS III. Ica bertemu dengan teman sebangkunya yang bernama Ratih. “ Ica…yuk kita ke kelas bareng.” seru Ratih. “ Yuk Tih..” jawab Ica.
Setelah beberapa menit sampai di kelas IV B, Bu Ani datang kemudian membagikan soal ulangan. Ica yang baru ingat kalau hari ini ada ulangan matematika langsung kebingungan. Dia tidak belajar sama sekali. Akhirnya Ica tidak bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Bu Ani.
“ Sudah selesai anak-anak?” tanya Bu Ani.
“ Sudah Bu….” dengan serempak anak-anak menjawab. Tapi ada satu orang anak yang terlihat masih sibuk mengerjakan ulangan.
“ Ica, sudah selesai belum?” tanya Bu Ani.
“Iya Bu, sebentar lagi selesai” jawab Ica sambil tergesa-sesa menyelesaikan soal matematikanya.
“ Baiklah anak-anak yang sudah selesai, jawaban masing-masing langsung ditukarkan ke teman sebelahnya ya. Kita koreksi bersama-sama.” Pinta Bu Ani kepada anak-anak.
Setelah selesai Bu Ani menyebutkan kunci jawaban yang benar, Anak-anak menuliskan benar berapa dan salah berapa pada kertas jawaban teman sebelahnya. Kemudian Bu Ani memanggil nama murid-murid satu per satu untuk menyebutkan benar berapa jawaban ulangan matematika tersebut.
Dari tiga puluh murid ada enam orang yang mendapatkan nilai jelek dan Bu Ani menyuruh untuk mengikuti her. Bu Ani juga berpesan, bagi murid yang mendapatkan nilai di bawah enam puluh agar meminta tanda tangan orang tuanya masing-masing. Ica termasuk dari salah satu enam murid yang mendapatkan nilai jelek, Ica hanya mendapat nilai lima puluh enam.
Bu Ani bingung ketika tahu hasil ulangan matematika Ica yang hanya mendapat nilai empat. Menurutnya Ica adalah anak yang pandai. Biasanya Ica selalu mendapat nilai tertinggi di kelas. Bu Ani semakin ingin tahu apa penyebab nilai ulangan Ica yang hanya mendapat nilai empat. Bu Ani menelpon Mama Ica. Bu Ani dan Mama Ica sudah kenal akrab.
Teeeeeeeeet!!!!!!!Teeeeeeet!!!!Teeeeeeeeet!!!!! Bel berbunyi tiga kali menandakan bahwa pelajaran hari ini berakhir. Murid-murid segera bergegas keluar kelas sambil membawa tas ranselnya masing-masing di punggung. Di luar sudah banyak sekali jemputan anak sekolah yang menunggu. Ratih melihat Ica duduk sendirian di bangku depan kelas.

“ Ca, kamu kenapa? kok bukannya pulang malah duduk sendiri di sini? kamu sedih ya karena nilai ulanganmu jelek?” tanya Ratih sambil duduk di sebelah Ica.
“ Iya, tadi aku tidak bisa mengerjakan ulangan yang diberikan Bu Ani. Aku takut Mama marah karena ulangannku dapat jelek Tih” jawab Ica dengan suara seperti orang yang ingin menangis sekaligus dengan nada ketakutan.
“ Memangnya semalam kamu tidak belajar ya…?” tanya Ratih . “ Iya..Aku lupa kalau hari ini ada ulangan. Aku baru ingat tadi waktu Bu Ani membagikan soal ulangan.” jawab Ica dengan nada menyesal.
“ Ya sudah jangan sedih lagi ya….Ayo kita pulang sama-sama sekarang, nanti kita dicari Mama”, Ajak Ratih buru-buru sambil menarik tangan Ica.

Sewaktu pulang sama-sama dengan Ratih, Ica bercerita kalau dia akan menyembunyikan nilai ulangan matematika tadi ke mamanya. Ica tidak mau memberikan hasil ulangannya ke Mama. Alasannya karena dia takut kalau Mamanya akan marah. Lalu Ratih memberi nasihat kepada Ica. “Tidak baik Ca menyembunyikan apa-apa ke orang tua. Ngomong aja ke mama kamu kalau kamu dapat nilai jelek karena kamu lupa kalau hari ini ada ulangan matematika. Jadinya semalam nggak belajar. Pasti Mamamu gak akan marah sama kamu deh Ca”, kata Ratih meyakinkan Ica.
Sesampainya di rumah, Ica tampak lesu dan tak mau makan. Tentu saja Mama mulai bertanya-tanya, “Ada apa gerangan anak Mama kok tiba-tiba tak mau makan dan lesu seperti ini?”. , Ica hanya menjawab, “Ica males makan, Ma. Ica mau tidur saja”. “Oh iya Ica, tadi Bu Ani telpon Mama, katanya tadi di sekolah ada ulangan matematika, mana hasil ulangannya Ca, Mama mau lihat”, tanya Mama sebelum Ica masuk ke kamar. “Belum dibagikan kok Ma ulangannya, Ica mau tidur dulu ya Ma” jawab Ica tergesa-gesa. Ica pun langsung beranjak ke tempat tidurnya dan tertidur pulas.
Entah dari mana asalnya, Ica tiba-tiba menghampiri Mama yang sedang sibuk memasak di dapur. Dengan masih memakai rok seragamnya, Ica mulai berbicara pada Mama. “Mmm...Ma, sebenarnya hasil ulangan matematika tadi sudah dibagikan. Ica dapat nilai jelek, jadi Ica takut kalau bilang ke Mama nanti Mama marah. Maafin Ica ya Ma sudah berbohong kepada Mama. Ica nggak akan mengulanginya lagi”, sesal Ica. “ Iya sayang, Mama nggak marah kok ke Ica. Mama bangga karena Ica sudah mau jujur ke Mama. Tapi janji ya, besok-besok nggak boleh ada yang disembunyikan lagi ke Mama”, pinta Mama pada Ica. “Terima kasih Ma.....” kata Ica.
Kemudian, terdengar suara Mama bergumam pelan, “Ica… Ica… bangun sayang, sudah sore”. Mata Ica pun pelan-pelan terbuka dan dilihatnya Mama sudah ada di sebelahnya. Dalam hati, Ica berkata “Ternyata tadi aku cuma mimipi”. Setelah sadar Ica berjalan ke meja belajarnya kemudian mengambil kertas hasil ulangan matematika di dalam tas ranselnya. Kertas itu diberikannya ke Mama. “Ma, ini hasil ulangan matematika tadi. Ica minta maaf Ma karena tadi sudah berbohong kalau ulangannya belum dibagikan”. Hati Ica deg-degan kalau Mamanya akan marah setelah Ica memberikan hasil ulangannya. Tapi ternyata pikiran Ica salah. Mama malah tersenyum kemudian memeluk Ica sambil berkata “Iya sayang, Mama sudah tahu kalau ulangannya sudah dibagikan. Tadi kan Bu Ani telepon Mama” . Ica lega ternyata Mama nggak marah. “Berarti Mama nggak marah kan sama Ica?” tanya Ica dengan senangnya. “Enggak, Mama nggak marah karena Ica sudah berani jujur sama Mama. Mama hanya berpesan lain kali jangan ada yang disembunyikan dari Mama ya” nasihat Mama untuk Ica.







selesai