Pages

Minggu, 07 Oktober 2012

Cerpen. Hidup itu, Penuh Liku


Hidup itu, Penuh Liku
oleh
Firda Mustikawati


          
Wiya, panggilan akrabnya. Dilahirkan dari hasil pernikahan sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, pernikahan tersebut tidak mendapatkan restu dari orang tua pihak perempuan. Berawal dari pertemuan ayah dan ibu Wiya di Kota Medan. Saat itu, ayah Wiya yang berprofesi sebagai polisi yang jabatannya masih belum tetap, tengah ditugaskan bekerja di Medan. Kemudian bertemu dengan ibu Wiya yang berdarah Medan. Hubungan keduanya semakin akrab setelah pertemuan mereka. Keakraban mereka tak mendapatkan restu dari orang tua pihak perempuan. Perbedaan suku bahkan agama menjadi penghalang bersatunya cinta mereka. Ibu Wiya lahir dari pemeluk agama Protestan. Ayah Wiya beragama Islam dan berdarah Palembang. Kekuatan cinta yang dimiliki orang tua Wiya saat itu mampu menembus penghalang bersatunya cinta kedua insan tersebut. Tak peduli meski ada tembok sebesar apapun yang menghalanginya. Tak peduli meski ada jurang pemisah antara mereka. Tak peduli adanya perbedaan. Toh, di mata Tuhan semua sama. Sungguh hanya dengan uang empat puluh ribu rupiah sisa penghasilan ayah Wiya saat itu berani menikahi ibu Wiya. Tanpa restu orang tua pun akhirnya ayah Wiya menikahi ibu Wiya secara Islam. Ayah Wiya membawa ibu Wiya ke dalam ajaran Islam. 

Satu tahun setelah pernikahan mereka, Wiya lahir di Kota Medan. Wiya adalah kado terindah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Kelahiran Wiya belum dapat menyentuh dan membuka hati kakek dan nenek Wiya untuk merestui pernikahan yang sudah satu tahun terjadi. Sama sekali tidak ada komunikasi yang baik antara orang tua Wiya dengan kakek dan neneknya. Kehidupan orang tua Wiya sangat pas-pasan saat itu. Tinggal di rumah dinas. Perabotan rumah tangga pun tak mampu untuk dibeli. Bantal berisi kapas diperolehnya dari jatuhnya kapas-kapas yang ada di pohon kapas sekitar rumah dinas. Sangat menyedihkan. Berkali-kali terdengar cemoohan yang tak enak didengar dari orang sekitar. Bukan hanya menghina soal kebutuhan hidup orang tua Wiya yang pas-pasan saja, bahkan cara beribadah, cara sholat pun menjadi bahan pembicaraan warga sekitar. Ada yang bilang ibadahnya jengkang jengking ga jelas. Ada yang bilang cara ibadahnya aneh. Dan cemoohan lainnya. Maklum, orang-orang di sana mayoritas beragama non Muslim. Hanya orang tua Wiya satu-satunya yang memeluk Agama Islam. Memang benar apa yang dikatakan banyak ustadz bahwa menjadi orang baik, beriman, dan bertakwa itu akan banyak sekali cobaannya.

Sebenarnya ibu Wiya adalah anak dari keluarga yang bisa dibilang mampu. Ya, karena pernikahan orang tua Wiya yang tidak mendapat restu, kakek dan neneknya pun enggan membantu biaya hidup orang tua Wiya. Dan akhirnya biaya hidup pun ditanggung berdua dengan suaminya. Penghasilan ayah Wiya sebagai polisi tak seberapa. Hanya bisa untuk makan satu bulan. Sampai pada tahun kelima pernikahan orang tua Wiya, pintu hati kakek mulai terbuka. Mulai bisa menerima ayah Wiya sebagai anak menantunya. Kini, hubungan orang tua Wiya telah direstui. Saat itu, bertepatan dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, anak kedua, adik Wiya. Wiya tak sendiri lagi. Tak kesepian lagi. Sekarang Wiya mempunyai adik laki-laki, mempunyai teman bermain di rumah. Sungguh kebahagiaan yang utuh. Kebahagiaan yang sudah lama dinantikan. Detik itu juga, kehidupan keluarga Wiya berubah. Berubah menjadi lebih baik. Kebahagiaan datang lagi saat ibu Wiya diterima sebagai PNS. Namun, satu tahun kemudian kebahagian itu berubah menjadi kedukaan. Kakek Wiya meninggal. Padahal, baru satu tahun terakhir kebahagiaan itu ada. Tak ada yang menyangka. Seluruh keluarga menangis kehilangan sosok suami, sosok ayah, dan sosok kakek. Tapi, semua sudah jalan Tuhan. Tak ada yang bisa menghindar dari takdir. Tak ada yang bisa menghindar dari kematian. Semua akan kembali pada Tuhan.

Setelah kepergian kakek, orang tua Wiya tinggal di rumah nenek dan meninggalkan rumah dinas. Rumah nenek menjadi ramai karena Wiya sekarang sudah mempunyai tiga adik. Lagi-lagi cobaan menghampiri orang tua Wiya. Ayah Wiya ditugaskan untuk bekerja di Kota Lampung. Kesedihan melanda. Rasa bimbang mulai datang. Antara pekerjaan dan keluarga. Di sisi lain, ibu Wiya sudah menjadi pegawai tetap di Medan. Mubadzir kalau pekerjaan ibu Wiya dilepas begitu saja. Akhirnya setelah dirundingkan bersama, ayah Wiya memutuskan untuk tetap menjalankan tugasnya di Lampung. Lalu bagaimana dengan ibu, Wiya dan adik-adiknya?. Ayah Wiya melangkahkan kakinya dan membawa raganya sendiri ke Kota Lampung. Ibu, Wiya, dan adik-adiknya harus berpisah dengan ayah.

Ayah Wiya seperti tak mempunyai keluarga. Setiap pulang dari kantor, tak didapatkan istri dan anak-anaknya di rumah. Makan sendiri, mencuci pakaian sendiri, tidur pun sendiri. Kerinduan kepada keluarganya di Medan selalu membuat ayah Wiya meneteskan air mata. Ibu Wiya pun sebaliknya. Mengkhawatirkan ayah Wiya. Menangis setiap malamnya. Lama-lama ibu Wiya berpikir untuk pindah ke Lampung. Tapi, ibu Wiya masih berat meninggalkan pekerjaannya di Medan. Kekhawatiran ibu Wiya dengan ayah Wiya membawa Wiya dan adik pertamanya diantarkan ke Lampung, ikut bersama ayahnya. Ibu Wiya mengkhawatirkan jika ayah Wiya tergoda dengan wanita lain di Lampung karena kesendiriannya di sana. Sebab itulah, Wiya dan adik pertamanya diberikan kepada ayah Wiya sebagai tanggung jawab seorang ayah. Adik kedua dan adik ketiga Wiya ikut bersama ibu Wiya di Medan. Ayah membiayai Wiya dan adik pertamanya di Lampung. Ibu membiyai adik kedua dan adik ketiga Wiya di Medan. Sudah sepuluh tahun keluarga Wiya berpisah antara Medan dan Lampung. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan. Keinginan untuk berkumpul lagi dengan keluarga sangat diharapkan oleh orang tua Wiya. Dengan ikhlas, ibu Wiya mengalah. Melepaskan pekerjaannya di Medan. Lalu, tinggal di Lampung. Sejak itu, keluarga Wiya utuh kembali. Menetap di Lampung. Kembali berkumpul dalam kebahagiaan. Kebahagiaan di dalam sebuah keluarga tak bisa diukur dengan apapun. Pekerjaan sekalipun. Ternyata, keluarga lebih dari segalanya.




0 komentar:

Posting Komentar