Pages

Rabu, 03 Oktober 2012

Cerpen. Penjara suci


Penjara Suci
oleh
Firda Mustikawati


Tahun 2002 adalah tahun pertama Ami duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Atas perintah orang tuanya, Ami harus melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Orang tua Ami mempunyai alasan, mengapa Ami harus melanjutkan sekolah di pesantren. Ami, anak perempuan yang manja dan sedikit nakal. Sebenarnya wajar jika anak kecil melakukan kenakalan. Namanya juga anak kecil. Belum mengerti betul mana yang harus dia lakukan dan mana yang harus dia hindari. Tapi, kenakalan Ami membuat orang tua Ami resah dan khawatir dengan kehidupan Ami kedepannya. Nah, dari sinilah orang tua Ami berpikir untuk kebaikan Ami, untuk merubah sikap Ami yang manja dan sedikit nakal (bandel) itu. Jalan keluar yang dipilih orang tua Ami yaitu dengan memasukkan Ami di pesantren. Orang tua Ami berpikir dan berharap bahwa dengan memasukkan Ami di pesantren, dapat merubah sikap Ami selama ini. Saat itu, Ami tidak tahu menahu soal pesantren. Tidak tahu menahu bagamaina kehidupan di pesantren. Tidak tahu menahu dengan siapa dia akan tinggal di pesantren. Tidak tahu pula mengapa Ami harus melanjutkan sekolah di pesantren. Tanpa menolak, wajah polosnya mengangguk dan mulutnya menjawab “ya” dengan senang ketika orang tuanya bertanya “Nak, ibu dan ayah sekolahkan kamu di pesantren ya?”. Orang tua Ami bersyukur karena anak sulungnya bersedia untuk disekolahkan di pesantren. Setidaknya, orang tua Ami bisa sedikit tenang karena di pesantren nanti, Ami bisa lebih mendapat perhatian yang ketat dari pengasuh pesantren.
Perjalanan dari rumah Ami ke pesantren lumayan jauh dan memerlukan waktu berjam-jam untuk sampai kesana. Sesampainya di pesantren, orang tua Ami menitipkan Ami kepada pengasuh pesantren. Bukan sekedar menitipkan saja, tapi juga sedikit membicarakan masalah Ami kepada pengasuh pesantren. Setelah itu, orang tua Ami kembali ke rumah dan meninggalkan Ami di pesantren. Kehidupan pesantren mulai dirasakan oleh Ami. Ami merasa kehilangan semua yang dia miliki di rumah. Tidak ada televisi di pesantren. Padahal, Ami suka sekali menonton acara televisi. Tidak ada kipas angin atau AC (air conditioner) di pesantren. Padahal, Ami tidak suka dengan ruangan yang panas. Ami mulai merasakan kegelisahan di hari pertama dia hidup di pesantren. Mungkin karena dia merasa kehilangan banyak fasilitas yang biasa dia dapatkan di rumah dan ternyata tidak dia dapatkan di pesantren. Bukan hanya fasilitas saja yang berbeda. Ami merasakan perbedaan masalah pelajaran. Ketika di luar pesantren Ami tidak pernah menerima pelajaran seperti mengaji kitab yang biasa disebut bandongan dan sorogan. Tapi, di pesantren inilah Ami harus bergelut dengan kitab-kitab yang asing baginya. Seiring berjalanannya waktu, Ami mulai melupakan kegelisahannya. Kini Ami memiliki banyak teman di pesantren yang bisa menghilangkan rasa gelisahnya. Emma adalah salah satu teman baik Ami. Bisa dibilang mereka sekarang bersahabat. Ami mulai betah hidup di pesantren. Sikap Ami pun berubah menjadi seorang anak yang alim dan menjadi pendiam, tidak terlalu banyak bicara. Selama satu tahun, sejak orang tuanya mengantarkan Ami ke pesantren, Ami belum pernah pulang ke kampung halamannya di Semarang.
Sebentar lagi kenaikan kelas. Ami senang karena sebentar lagi dia bisa berlibur, bertemu dengan orang tuanya dan kedua adiknya. Sehari sebelum pembagian rapor, Ami dipanggil untuk menghadap pengasuh di ndalem beliau. Pengasuh pesantren menyuruh Ami untuk segera bersiap-siap pulang ke Semarang. Ami bingung. Pengasuh melanjutkan perkataannya bahwa ayah Ami menyuruh Ami segera pulang. Pengasuh pesantren juga berrkata bahwa rapor Ami sebaknya diambil setelah Ami pulang dari Semarang. Ami masih bingung, karena tidak adanya kejelasan dan alasan mengapa Ami secara mendadak disuruh pulang. Akhirnya, Ami pulang ke Semarang. Dia diantarkan tangan kanan pengasuh pesantren. Di perjalanan, Ami masih bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di rumah. Kenapa dia harus pulang secara mendadak, sementara sebentar lagi pembagian rapor.
Sesampainya di rumah, Ami disambut ayah dan kedua adiknya. Ibu Ami tidak terlihat di rumah.
“Ibu kemana, yah?” tanya Ami.
“i..bu..di..ru..mah sa..kit, Mi”. Sambil terbata-bata ayah menjawab pertanyaan Ami.
Ami terkejut seketika itu. Ibu Ami terkena penyakit jantung. Selama Ami di pesantren, Ami tidak pernah tahu bagaimana kondisi ibunya. Dia merasa ibunya sehat-sehat saja. Saat ini, ibunya tengah mendapat perawatan di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, meskipun badan Ami masih lelah dan pegal-pegal karena perjalanan dari pesantren ke Semarang yang lumayan jauh, Ami mengajak ayah untuk menemaninya bertemu ibu di rumah sakit.
Kondisi ibu Ami semakin memburuk. Lemah tak berdaya. Ami tak tega, tak kuasa melihat kondisi ibunya. Semua keluarga sudah pasrah. Mereka serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa mana yang terbaik untuk ibu Ami. Sepanjang hari, Ami tak berhenti mendoakan ibunya. Ami berdoa meminta kesembuhan ibunya. Tapi, Tuhan berkehendak lain, Ibu Ami meninggalkan Ami, Ayah, kedua adik Ami serta keluarga besar Ami. Semua menangis merasa kehilangan sosok ibu yang begitu lembut. Di saat Ami telah menjadi remaja yang alim, gadis yang baik, ibunya justru meninggalkan Ami. Perubahan sikap Ami itu belum sempat ditunjukkan kepada ibunya. Ami yakin, meskipun ibunya sudah tidak bersama dia lagi, tapi ibunya pasti akan sangat senang melihat Ami yang akhirnya menjadi anak yang baik dan alim sesuai harapan orang tuanya dulu. Ami berjanji pada dirinya bahwa jika kelak dia sudah lulus dari pesantren, dia akan menjaga ayah dan kedua adiknya setiap hari.
Liburan Ami tidak seperti liburan anak-anak lainya. Ami mendapatkan cobaan harus ditinggalkan oleh ibunya di usianya yang masih terbilang kecil. Selama di rumah, setiap hari jumat pagi, Ami, ayah, dan adik-adiknya nyekar di makam ibu Ami. Membacakan tahlil, mengirimkan doa  supaya ibu Ami ditempatkan di tempat yang layak oleh Allah.
***

Ami kembali ke pesantren setelah dua bulan di rumah. Teman-teman Ami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibu Ami. Emma, sahabat Ami merangkul dan berbicara pada Ami supaya sabar atas cobaan yang diberikan Allah kepadanya. “Allah menyimpan sejuta rahasia di balik cobaan berat yang kemaren Ami alami”. Lanjut Emma. Kesedihan Ami pun sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh waktu dan dukungan semangat dari teman-temannya di pesantren.
***
Enam tahun kemudian.
Ami lulus kelas tiga Aliyah (setingkat SMA) dari pesantren. Atas semangat dan  kegigihannya dalam belajar, Ami menjadi santri dan murid terbaik lulusan periode 2008-2009. Ami senang, ucapan syukur pun keluar dari mulutnya. Ami bertekad untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi Semarang. Dia ingin dekat dengan ayah dan adik-adiknya. Sejak kepergian ibunya, ayah Ami tidak menikah lagi karena besarnya cinta ayah kepada ibu Ami. Keinginan Ami masuk perguruan tinggi di Semarang, gagal. Ami belum berhasil lolos ujian masuk perguruan tinggi di Semarang. Berkali-kali dia mencoba ikut tes, namun gagal dan gagal lagi. Setelah berpikir panjang dan mendapatkan nasehat dari ayahnya, Ami memutuskan untuk tidak kuliah. Ami membantu bisnis bordir ayahnya yang sejak lama sudah dirintis. Ada baiknya juga Ami tidak kuliah, karena dia bisa secara intensif menjaga ayah dan kedua adiknya di rumah menggantikan sosok ibu yang enam tahun terakhir meninggalkan mereka.
***
NB: Alur cerita pendek ini diambil dari kisah nyata. Namun Tokoh dan Latar pada cerpen ini hanyalah fiktif.

0 komentar:

Posting Komentar